Thursday, April 9, 2015

Di Antara Tanda Tanya


Seperti rekahan bunga semi pertama ia menyapa
Melantunkan nada cinta tanpa kata
Menggenggam mimpi bersama juntaian asa
Siapa kan sangka

Hangat mentari senja hadir di kedua bola matanya
Mengisahkan sajak cinta tanpa ujar
Memupuk bibit rindu beriring cita
Siapa kan sangka

Tak seorang duga kata di akhir laman
Entah ukiran ria atau lara kan disana
Yang pasti sudah sedari awal aku bersiap 
Jatuh di antara tanda tanya



Chrisella

9 April 2015



Friday, March 6, 2015

Sebatang Rokok dan Secangkir Teh



"Tik.. Tikk. Shhhhh."

Samar suara pemantik api menyulut rokok keretek memecah senandung apik jangkrik malam. Sejenak rambut kecoklatannya yang turun hingga pelipis, batang hidungnya yang bangir, dan sorot matanya yang sendu tersorot cahaya jingga api.

Bisik angin malam menyapa wajahnya sembari dihirupnya rokok itu dalam-dalam. Dengan mata terpejam dan pikiran yang tak ayal kemana, dihembuskannya napasnya perlahan, membuat kepulan asap putih dengan aromanya yang khas menari membentuk siluet elok tak berparas. Aksara perlahan mengangkat kakinya dari dingin lantai marmer dan dan merebahkan punggungnya pada tembok balkon putih pucat di belakangnya. Ditengadahkannya kepalanya ke langit, menghitung titik kerlip cahaya nun jauh yang terhitung jumlahnya. "Tak berbelas kasihan kah kau menghibur si nelangsa ini?", ringisnya.

Aksara membenamkan lamunannya pada satu hari di bulan Desember. Hari ketika senyum dan tawa seorang anak manusia mampu menjadi penopang segala kelam. Hari ketika cinta dan janji begitu lugas diucap karena masa kini yang sepenuhnya berkuasa membuatnya tak lebih kuat dari bocah ingusan belajar berjalan. Dan hari ketika kata "maaf" tak lebih menyakitkan dari duri dalam daging yang diceritakan seorang Rasul itu.

Sesaat Aksara terlena dengan gemericik gerimis yang mulai turun dan menebarkan bau tanah basah di penghujung hari. Dibenamkannya puntung rokok pada asbak kaca penuh sesak di sebelah kanannya, mengambil sebatang rokok dari kardus ketiganya hari itu, dan memantik apinya. Berharap malam menyapu habis rindunya dan tak lagi menyisakan tanya.

***

Annika meraih cangkir tehnya, mendekapnya dengan kedua jemari tangannya, dan menikmati kehangatan menjalari setiap jengkal buku-buku jarinya. Perlahan ia menghirup tehnya sembari termenung menatap langit malam lewat jendela yang berseberangan dengan meja berserakan kertas-kertas sketsa. Bagi Annika, langit malam bagaikan sebuah lukisan Sang Pencipta yang terselip cinta. Begitu damai dengan kerlip gemintang ditemani cahaya cantik bulan.  Ia menghela napas panjang. “Namun sejak kapan kau menitip sejumput kenangan ini lewat malam?”, pikirnya lirih.

Ia teringat derai tawa yang mengalun dari bibirnya sepanjang hari, juga sorot mata bersahabat untuk mereka yang di dekatnya. Tapi ketika fajar menyembunyikan rupa dibalik temaram langit malam, ia tak berdaya. Tak berdaya menyembunyikan kekalutan batinnya yang bertanya kabar pria yang secara penuh mengisi ruang hatinya. Sedang apa dia sekarang? Masihkah ia menghabiskan malam di sudut balkon kamarnya? Sesakkah hatinya oleh rindu yang membuncah ini?

Annika melirik jam yang terpampang di halaman depan telepon genggamnya. Pukul 21.14. Ia tak tahan lagi. Diambilnya telepon genggamnya. Ingin rasanya menekan tombol angka dan mendengar suara berat dari ujung telepon. Tetapi diurungkannya niatnya. Ia membuka kotak pesan dan menulis sebaris kata, “Aku kangen…” Tidak, tidak. Dihapusnya lagi sebaris kata itu. Rasanya terlalu naif tanpa asal muasal mengumbar kata rindu semurah itu. “Hai, apa kabar?”, rasanya lebih masuk akal. Ia tersenyum menatap layar kacanya. 

Hatinya berdegup kencang dan tangannya basah oleh rasa gugup yang menghampirinya. Tinggal menekan sebuah tombol kirim sebenarnya. Namun entah untuk yang keberapa kali, sekelebat memori itu kembali menghadang.


“Rasanya ini bukan waktu yang tepat. Aku bahkan berpikir ulang tentang angan-angan kita yang dahulu. Menikah bukan perkara sepele, Aksara. Karirku sedang melejit saat ini. Bulan depan bahkan aku harus ke London kemudian langsung ke Bei Jing beberapa minggu untuk fitting gaun pesta klienku. Lagipula hey, kita masih sama-sama muda sayang, tak usahlah terlalu muluk bicarakan menikah, menikah, dan menikah.”
“Berapa kali harus kukatakan, aku mengerti semua kesibukanmu. Hanya saja aku juga punya batas Annika. Aku lelah menunggu kepastian kapan pernikahan kita segera dilaksanakan. Kita sudah lama bertunangan dan akan lebih baik jika kita mengikat janji pernikahan kita selagi kita juga tetap berfokus pada karir kita masing-masing. Aku janji pernikahan kita ga akan menghambat ini semua. Kamu dengerin aku, ya?”
Aku sesaat terdiam.
“Maaf Aksara.. Aku ga bisa korbanin karir aku.” 

Matanya tak lagi menitikkan air mata mengingat hari itu. Perlu ratusan malam untuk mengakui bahwa ia –sang pembuat keputusan- lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas berakhirnya kisah yang terbina semenjak mereka masih duduk di bangku kuliah dulu. Ia menyesali tiap kata yang meluncur tajam dari lidah terkutuknya; menyia-nyiakan cahaya hidupnya untuk cahaya sesaat yang membutakan pilihan hatinya.

“Maka biarlah saat ini aku yang menunggu. Menunggu ia merindukanku.”, pikirnya. Karena kapan saja saat Aksara ingin kembali, hatinya terentang untuk memberikan cinta baru yang dengan sungguh akan ia jaga.

Teh di hadapannya sudah mendingin dan telepon genggamnya telah ia lempar sembarang ke tumpukan kertas sketsa di depannya. Annika kembali memandang langit malam. Ia selalu menyukai langit malam yang seolah menyampaikan, “Apa yang terjadi dan kau rasakan hari ini, cukup untuk hari ini. Beristirahatlah. Pejamkan matamu. Bersamaan dengan terbitnya sang fajar di ufuk timur, esok kan lebih baik.” 

--------------------------------------------------------------------------------
"His cigarettes are running one after another, trying to forget her. While her tea is getting cold as she waits for him to miss her"

-------------------------------------------------------

* Duri dalam daging: Diucapkan oleh seorang Rasul dalam sebuah ayat di Kitab Suci. Frase ini merujuk pada penderitaan jasmani yang berpengaruh pada dia secara pribadi dan fisik. Ini barangkali sesuatu yang membuat dia sangat kesakitan, dan juga sedikit rasa malu, karena hal-hal ini "memukul" dia. 


Chrisella

6 Maret 2015


Monday, March 2, 2015

Nona Berpayung Pastel




Tidak ada yang istimewa. Hari ini hari yang begitu biasa dengan rintik hujan menjelang senja. Namun siapa sangka seolah langit telah menentukan garis pertemuan kita di hari ini. Begitu sederhana. Begitu manis.

Masih jelas terbayang di sudut ingatan. Kau, di bawah temaram lampu kuning stasiun kota yang rengkuh berdiri termakan usia menunggu entah apa atau siapa. Dengan payung lipat berwarna pastel lembut dalam genggaman dan switer hijau tua terlipat hingga ke siku menengadah menatap langit yang berangsur kelabu. Sesekali kau bergeser memberi tempat pada pejalan kaki atau pengendara beroda dua yang tergesa meneduhkan diri dari derasnya hujan yang tak kunjung reda.

Hey Nona, tahukah engkau tiap senja aku disini; memperhatikan tiap individu diam, lalu, dan lalang tak henti di detik hariku yang membosankan. Namun hari ini, kehadiran mu yang baru kulihat membuat udara bahkan terasa begitu berbeda. Mungkinkah itu karena sorot mata mu yang hangat, namun sarat kesedihan? Atau mungkinkah karena senyum masam –yang walau tampak begitu sendu tak mampu menyamarkan elok paras mu- yang sesekali terulas di bibir mungilmu? Entah hal apa yang menderu di pikiran mu saat ini. Kegetirankah yang sedang kau ingat Nona berpayung pastel?

Aku bukan seorang pecinta hujan. Boleh dikata, aku tak pernah mendapat hal baik di hari tiap tetesan air ini bergemerisik di atap stasiun kota. Namun kali ini, sebagai saksi bisu mala-ku di tiap pergeseran hari, bolehkah aku meminta langit berbaik hati menitikkan airnya sedikit saja lebih lama? Aku ingin perasaan yang berbeda ini singgah lebih lama, kali ini saja.

Ah! Tak kusangka mata kami bertemu. Kau tersenyum, dengan mata berbinar, dan nampak sedikit ragu sesaat. Kau mencari entah apa dari dalam tas selempang hitam bermotif putih abstrak mu dan perlahan menyeruak diantara kerumunan mereka yang berteduh. Dengan langkah kecil berjalan ke sudut ku bergelung memperhatikan tiap laku manismu. 

Kau membungkuk tepat di hadapanku. Begitu dekat hingga aroma manis –entah minyak wangi atau makanan- darimu begitu terasa. Dengan payung pastel yang diletakan sebelah kanan tumpuan lututmu dan tangan kirimu yang terisi serpihan roti daging isi.



“Lucunya anjing kecil ini. Pasti lapar dan kedinginan ya, ayo makan.”, kata Nona berpayung pastel seraya membelai sayang kepala hingga punggungku. 


Chrisella
18 Februari 2015

Monday, February 16, 2015

Kisah Sebentar


karena melalui singkatnya cerita paling tidak Tuhan sudah mengabulkan 1 doaku
untuk jatuh cinta sedalam-dalamnya

sesakit-sakitnya


Chrisella
10 Februari 2015

Thursday, December 18, 2014

Tarif Baru Kartu Pos

Selama ini aku selalu kirim kartu pos dengan perangko bertarif Rp 5,000 dan itu aku pukul sama rata ke semua negara. Tarif itu aku dapet dari salah satu blog yang ngasih informasi tarif kartu pos dimana sebenernya tarif tertinggi bahkan hanya Rp 4,000 (http://chrisellasella.blogspot.com/2014/04/pak-pos-dan-perangko.html)

Nah beberapa waktu yang lalu, aku iseng baca-baca Komunitas Postcrossing di facebook. Disitu ada banyak banget informasi mengenai kartu pos dan salah satunya adalah informasi tarif kartu pos.

Ternyataaaa, semenjak tahun 2013 uda diterapin tarif kartu pos atau surat s/d 20 gram:


Untuk lebih lengkapnya bisa di-download di https://www.facebook.com/groups/PostcrossingID/557414174316258/

Reaksi pertama: "LOH?"

Aku mulai main Postcrossing dan berkirim kartu pos di Februari 2013 dan saat itu aku masih menggunakan tarif yang dikeluarin KOMINFO tahun 2002. Karena itu 1 kartu pos selalu aku tempelin perangko senilai Rp 5,000 dan (super anehnya) pasti sampai sesuai dengan alamat yang dituju. Padahal tarif ini uda berlaku dari awal tahun 2013.

Berhubung sudah tau tarif yang benar, sekarang (sudah 2 bulan terakhir) aku selalu menempelkan perangko senilai Rp 8,000 untuk setiap kartu pos yang aku kirim. Walau memang sebelumnya dengan menggunakan tarif Rp 5,000 kartu pos ku selalu diterima oleh Pak Pos dan sampai di tempat tujuan dengan cukup cepat, alangkah baiknya kita mengikuti aturan yang sebenarnya. Daripada resiko kartu pos yang sudah kita pilih dan tulis dengan rapi suatu saat tidak dikirimkan karena kurangnya tarif perangko yang ditempelkan.

Dan lagi, Penambahan tarif ini pasti uda disesuain dengan beragam kenaikan harga yang terjadi di Negara kita. Jadi mari berharap saja, semoga kenaikan tarif ini diikuti dengan kinerja kantor pos yang lebih baik dan semakin dimanfaatkannya Kantor Pos sebagai sarana pengiriman beragam barang. : D

Tuesday, November 11, 2014

Asa


ketika asa terbungkam kata
dan kata tak lagi mampu memupuk senja
akankah esok sama terasa?

Chrisella
11 Oktober 2014




Saturday, October 25, 2014

Museum Sejarah Jakarta


#JAKARTAREPOSEPROJECT


Opening Time
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Pukul 09.00 s/d 15.00
Number of attractions open
4; Halaman depan museum, ruangan museum, halamn belakang museum (tempat penjara bawah tanah), dan ruangan teater
Geographic Location
Jalan Taman Fatahillah No.1, DKI Jakarta 11110
Cost and price
Rp 2000,00 untuk anak-anak
Rp 3,000.00 untuk mahasiswa
Rp 5,000.00 untuk dewasa / pekerja
Marketing of attraction
Seminar ke sekolah-sekolah, brosur, dan event (festival Batavia dan wisata Kota Tua)


Penjelasan Tempat


Pak Supriadi, seorang tour guide sekaligus staff administrasi yang sudah bekerja selama 25 tahun di Museum Fatahillah menjelaskan begitu banyak hal terkait dengan museum ini. Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan Museum Fatahillah dibangun pada 25 Januari 1707 pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Joanvan Horren. Pembangunan berlangsung selama 3 tahun hingga 10 juli 1710 dan diresmikan oleh Gubernur Jendral Abraham Vanderberg. Gedung ini awalnya digunakan sebagai Kantor Balai Kota Batavia dan Kantor Dewan Pengadilan karena itulah museum ini dilengkapi dengan 5 ruang bawah tanah dimana 4 ruang diperuntukkan untuk laki-laki dan 1 ruang untuk wanita.


Gedung ini kemudian diresmikan sebagai museum pada tanggal 30 maret 1974 oleh Bapak Gubernur Ali Sadikin. Museum ini menampilkan koleksi pra sejarah hingga Jakarta saat ini yang merupakan barang-barang peninggalan orang-orang yang pernah tinggal di Batavia seperti misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Museum Fatahillah buka setiap hari Selasa-Minggu mulai jam 9 pagi – 15.00 dan tutup di hari Senin dan libur nasional. Hari Sabtu dan Minggu merupakan hari teramai Museum Fatahillah dikunjungi. Mayoritas dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa. Pak Supriadi mengatakan bahwa pelajar-pelajar yang datang biasanya memiliki tugas-tugas dari sekolah. Tak jarang juga banyak kunjungan dari sekolah-sekolah untuk acara karyawisata, dimana pihak sekolah harus lebih dahulu mengkonfirmasi via telepon ataupun surat.
Pada bulan September 2013 hingga Maret 2014, Museum Sejarah Jakarta ditutup sementara karena ada renovasi dan perbaikan. Bersamaan dengan kembali dibukanya Museum Fatahillah pada Maret 2014, peraturan baru pun diberlakukan. Sebelum memasuki area museum, pengunjung diharuskan untuk melepaskan sepatu dan mengenakan alas sandal yang telah disediakan Museum Fatahillah pun diberlakukan. Museum ini kurang lebih menyediakan 500 sendal yang digunakan bergantian oleh pengunjung. Peraturan ini dilakukan untuk menjaga kondisi gedung museum yang sudah tua sekaligus menjaga kebersihan di dalam museum (Karena hanya 500 sendal, maka hanya bisa ada 500 pengunjung di dalam museum). Selain itu, Museum Fatahillah juga menyediakan alur yang dibatasi dengan garis merah sehingga pengunjung dengan tertib dan teratur dapat melihat koleksi museum. Pak Supriadi mengatakan bahwa Museum Fatahillah merupakan museum pertama di Indonesia yang memberlakukan aturan ini. 


Petugas museum meminjamkan sandal dan kantong sepatu kepada pengunjung Museum Fatahillah

Tersedianya tempat duduk untuk pengunjung mengganti sepatu yang mereka kenakan dengan sandal museum.


Sandal yang dipinjamkan oleh museum

Dalam sehari, rata-rata lebih dari 1200 pengunjungi mengunjungi Museum Fatahillah dimana koleksi museum yang paling disukai oleh mereka adalah Meriam Si Jago dan penjara bawah tanah. Pengunjung juga disediakan fasilitas berupa tour guide yang berjumlah 5 orang yang dapat menjelaskan berbagai penjelasan terkait dengan koleksi museum.
Setelah selesai berkeliling museum sesuai dengan alur yang dibuat, pengunjung sampai di taman belakang Museum Fatahillah yang kemudian disambut oleh petugas Museum. Disana mereka mengembalikan sandal dan kantong tempat penyimpanan sepatu. Di taman ini terdapat ruangan penjara bawah tanah, ruangan cinema untuk menonton sejarah Museum Fatahillah (yang dikenakan biaya Rp 2000 per orang), penjual makanan dan minuman, kursi dan bangku kecil untuk pengunjung bersantai di bawah pohon, serta sebuah ruangan untuk menonton sejarah perkembangan Museum Sejarah Jakarta.




Untuk mempromosikan museum ini, Museum Fatahillah mengunjungi sekolah-sekolah di Jakarta , menyebarkan brosur, serta membuat acara-acara seperti pagelaran dan Festival Batavia. Saat mengunjungi sekolah-sekolah, mereka menceritakan sejarah-sejarah Jakarta serta pahlawan pahlawan yang dulu pernah ditahan di penjara bawah tanah. Lalu untuk lebih lengkapnya, mereka mempromosikan para siswa untuk mengunjungi museum dan melihat koleksi secara langsung.
Pak Supriadi ingin Museum Fatahillah tidak dilihat hanya sebagai tempat penyimpanan benda-benda kuno tetapi juga sebagai sarana edukasi dan karyawisata yang terjangkau untuk setiap kalangan di Jakarta.


Analisa visitor

Di Museum Fatahillah saya juga mewawancara 2 pengunjung museum yakni Nessa, mahasiswa Universitas Tarumanegara jurusan arsitektur dan Aulia Nessa, mahasiswa Universitas Trisakti jurusan akuntansi. Mereka mengatakan bahwa ini adalah kali kedua mereka mengunjungi Museum Fatahillah. Yang pertama karena mereka penasaran dengan Kota Tua dan yang kedua karena Nessa memiliki tugas kampus untuk mempelajari arsitektur bangunan tua.
Mereka mengatakan Museum Fatahillah adalah tempat wisata yang sangat menarik karena tempat ini “tidak biasa”. Saat ini Jakarta dipenuhi dengan gedung-gedung, mall, dan fasilitas mewah sehingga suasana gedung tua menjadi daya tarik yang menyenangkan. Mereka menghabiskan waktu sekitar 2 setengah jam untuk berjalan-jalan mengitari museum untuk melihat bangunan, lukisan, dan beragam koleksi lainnya.
Biaya yang mereka keluarkan untuk mengitari museum adalah Rp 6000 untuk berdua. Biaya ini dirasa sangat sesuai karena mereka mendapatkan ilmu dan free untuk bertana jika ada hal yang belum jelas. Mereka mengatakan bahwa ada orang yang berjaga di beberapa tempat di ruangan koleksi sehinga mereka bisa bertanya. Pelayanan dari Museum sebenarnya sudah sangat baik sayangnya justru pengunjung sendiri khususnya warga lokal yang kurang begitu memperhatikan informasi penting. Hal itu sangat berbeda jika dilihat dari cara turis-turis asing mencari informasi.
Bagi mereka yang paling menarik adalah penjara bawah tanah karena selama ini mereka belum pernah melihat penjara yang berada di bawah tanah. 
Sayangnya, Museum ini masih belum memenuhi ekspektasi Nessa dan Aulia dalam hal kebersihan.  Sekalipun kebersihan di dalam gedung museum sangat dijaga, area taman di sekitar penjara bawah tanah sangat kurang kebersihannya. Banyak air minum kemasan yang dibuang di sembarang tempat di bawah kursi dan meja yang disediakan. Selain itu tembok luar penjara pun dipenuhi coretan dari anak-anak SMP atau SMA.
Menurut mereka asset sejarah merupakan asset yang berharga dan perlu dijaga karena memerlukan proses yang sangat lama untuk menjadikan hal tersebut asset sejarah.