Seiring berkembang pesatnya teknologi, kita dengan mudah
mendapat akses komunikasi bebas tanpa terbatas ruang dan waktu. Hanya dengan
duduk santai di depan televisi sembari memegang ponsel atau laptop canggih;
siapa pun, dimana pun, dan kapan pun, dapat terkoneksi.
Tentu saja kecanggihan ini melewati banyak proses dan
pemikiran dari orang-orang hebat di bidangnya. Mereka memberikan solusi atas
kebutuhan komunikasi yang kian mendesak; seorang ibu yang memiliki anak di luar
negeri, seorang yang lama tak mendengar kabar dari sahabatnya, hingga pengiriman
data dan laporan penting perusahaan. Dengan internet dan gadget canggih yang
kini kita miliki, hambatan dalam berkomunikasi nampaknya sudah begitu kecil.
Teknologi ini membuat banyak orang berdecak kagum dan bergumam,
“Wah keren banget.” Seiring berjalannya waktu dan segala kesibukannya, kita pun
kian terlena dan bergantung dengan kecanggihan yang ditawarkan. Bagaimana tidak? Hampir
segala bentuk aktivitas menulis, mulai dari chat dengan teman, mengirim tugas, hingga
menulis catatan dilakukan melalui ponsel pribadi.
Pada akhirnya, segala
kecanggihan yang awalnya “WAH”, sekarang menjadi tidak lebih dari sekedar
rutinitas harian yang dilakukan oleh jutaan orang di berbagai belahan dunia.
Sejak duduk di bangku SMP, gue sangat menikmati proses menulis. Bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang paling gue favoritkan karena memberikan gue kesempatan untuk menuangkan yang ada di pikiran gue secara gamblang melalui pena dan secarik kertas. Namun dengan beragam kemudahan yang ditawarkan gadget dan internet; mengetik, meng-capture, atau mengirimkan sebuah tulisan terasa jauh lebih mudah dibandingkan harus bersusah payah menulis kata per kata pada selembar kertas. Bikin mager, istilah anak jaman sekarang.
Dan tak bisa dipungkiri, kian banyak orang yang melupakan asiknya megguratkan corat-coret sebuah tulisan dalam secarik kertas, dan sayangnya, termasuk saya.