Thursday, December 31, 2015

happy new year

00.11
January 1st, 2016

as the city's sky lights up with a merry sparks of the new beginning,
i grant my prayer upon Your hands on this wishful night

not merely about myself,
but I take a moment to whisper his name on my prayer

i pray,
for his spring of happiness
for her, to not break him, nor forsake him
for his steps, to guide him, and fulfill his grain of course
for his will, to not slake, and continue to flame

i pray,
for him to not give up on himself
or things
or people
that he know will create bigger happiness in the meantime

i pray,
for your eternal happiness
tomorrow, and the day after, and the days after.


happy new year!

Tuesday, December 8, 2015

Fear



“What’s your biggest fear?”, asked me as I laid my head against his chest.

His subtle forehead lines frowned.
“Death?”, he smiled and tighten his arms around me. I felt lucky that infatuated curled lips is the same lips that kissed my sleepy eyes tonight.

“Everybody would die. I’m not afraid of one.”, he took my hand and his ticklish fingers played with mine.

Behind our white framed window, a light sprinkle of rain slowly fell. Little tunes of raindrops that tapped outside left us a comfortable silence in between. 

 “I have two”, he broke the silence.

 “That people find out the real me”, added him, nearly a whisper.

I could feel his breath rushed at the tip of my nose as our cold feet tangled under a thin blanket and warm sheets.

“Am not as confident they think I am. All this high paid job, nice suit, car, and mansion, never seemed enough to shut a hole I have within me. I hide under a mask of successful man while at night; I am who I am that you see. A pathetic and lonely kind of man.”

He gently pressed his warm lips on my neck, “And you, sweetheart, make it a lot easier.”

I smiled and changed my position to have a better look on his dark brown eyes. “Yes, you got me. So please, at least for tonight, don't feel that way.”

“And what’s the second fear?”, asked me again.

He quietly gazed upon the window glass; watched the rain poured down heavily.

“My wife finds out about you..”, answered him, pulled me even closer to his side.



 ***

 December 8th, 2015

Sunday, October 18, 2015

Monday, October 12, 2015

track

so yeah
i'm losing track
with pretty much everything; uni life, social life, self-growth, love life, church activity
none of that gave me the excitement that i used to feel each day i open my eyes
it's a total mess; total failure
and i wish i could just crawl up in my bed all day not to meet anyone
not to face my own downfall

isn't it sad?

i know all will be fine in the end
but can i just jump out right to the moment where i can see that it will all makes sense?

i need to find a trigger to get myself back in
to convince my self i'm not facing a dead-end

--

i rarely complain
my social media's filled with encouragement quotes, bible verse, funny meme, and all the positive stuff
i am quite a positive person, at the outside
but no. i'm. not. a. hypocrite.
all of that is an act of reminder for myself to get myself back up, to never stop hope, to be grateful in all circumstances He let me through
and yes, I am

but there's a time when all the mumbled inside my head so overdose
and i need a place to share my loads
this part of the blog is the place i can be honest to myself without scared of being judged
only people who do really care will search these much about me
and to you who care, i don't mind share
just when you see me in person, (please) don't brought this up


goodnight.

Monday, September 28, 2015

no words even came out.

i was planning to describe in cheesy way the way you make me flutters, every single time you're around. but everything i type doesn't even close to describe. i don't even know what to call this sort of feelings. do i like you? do i love you? or do i just a secret admirer that wish someday you'll notice?

i treasure your contagious laugh, your kind and cheerful tones when you speak, your gentle gesture, and your surprising minds when you argue. but pretty confusing, i honestly never hope to be your woman. it tremendously enough to see you shining in that spotlight. see you being a happiness for everyone around which in turn, makes you even happier. 

there are days when i can't help much and my words will only pass like an evening breeze in your ears.

out of nowhere, i find myself pray for your struggles. 
because, that's the only thing that's not out of my reach.

Monday, September 21, 2015

Hanya Isyarat - Dee

Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang mampu ibunya beli. Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.

Mereka semua senyap, lalu memandangiku. Mereka tidak menduga kata-kata sebanyak itu meluncur keluar dari orang yang selama ini mereka kira arca. Dan betapa gemas mereka menanti lanjutan cerita tentang punggung ayam di negeri orang.

Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.

“Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki."






Dewi Lestari - Rectoverso

Thursday, September 10, 2015

Vanish

I fall for a countless time
I'd normally say, "maybe it's just not the time. get up, do better." 
But now, I just wish to vanish.

Friday, August 21, 2015

Kelam Gestapu




Desa Mojorejo, Malang, Jawa Timur
15 September 1965, 23.20 WIT

Aku merapikan kertas-kertas soal dan memasukkan alat tulis ke dalam tas sekolahku.  Biasanya pukul 10 pun aku sudah tertidur, hanya saja.. Ugh, aku baru ingat ada tugas matematika yang harus dikumpulkan besok. Terlalu lama menunda pekerjaan memang seringkali membuatku lupa.

Mataku sudah kuyu oleh rasa lelah ketika ku lihat lampu ruang tengah masih menyala. Mungkin Mama lupa mematikan lampu. Aku keluar dari kamarku, hendak mematikan lampu. Terlihat Mama sedang duduk di sofa kusam yang sudah ada sejak aku lahir menghadap Papa yang termenung bersandar pada dinding. Entah sejak kapan, tapi aku tahu mereka seringkali berbicara serius setengah berbisik saat aku dan adikku sudah di kamar masing-masing. Hanya saja baru kali ini aku sungguh bisa mendengarnya.

Pa, kita ga bisa main terima saja sama bantuan-bantuan itu. Siapa yang tau mereka punya maksud tidak baik?”

Tidak baik bagaimana. Mereka satu-satunya partai yang menghargai kita sebagai bagian dari bangsa. Mama tau sendiri, bahkan mereka berani menentang pemindahan paksa orang-orang keturunan dari desa-desa.”

Jangan ikut campur urusan politik, Pa. Kita orang kecil.”

“Sudah-sudah tenang saja. Presiden Soekarno sangat mendukung keberadaan partai ini, ga bakal terjadi apa-apa. Papa kenal sekali dengan anggota-anggotanya. Mereka membagikan bibit-bibit serta alat pertanian untuk para petani, bahkan memberi pinjaman untuk kita, Ma. Mama ga liat, mereka begitu memperjuangkan perubahan tatanan sosial. Apa yang salah dari itu?”

Apa yang sedang mereka bicarakan?
***
1 Oktober 1965
04.10 WIT
Samar suara saling adu panci penggorengan dan spatula alumunium di dapur membuatku terbangun dari lelap. Sontak aku menarik selimutku hingga ke atas kepala dan kian erat memeluk guling-ku yang sudah lapuk. Suara Adzan subuh saja belum terdengar. Kenapa Mama sudah bangun sepagi ini?

Aku hampir kembali terlelap ketika pintu kayu dari ruangan tepat di depan kamarku berdecit. Terdengar suara sandal jepit karet murah yang diseret diikuti suara batuk yang sudah begitu khas. Siapa lagi kalau bukan Papa.

Aku mencoba kembali terlelap. Tapi sudahlah, aku toh tidak akan bisa tidur lagi.

Sen uda bangun, tumben. Sini bantu papa”, Papa melongok dari teras rumah ketika aku membuka pintu kamarku. Masih mengantuk aku keluar rumah dan ikut duduk bersama Papa beralaskan tikar di beranda kecil rumah kami. Di sebelah Papa tertumpuk kertas-kertas berwarna kuning terang berbentuk persegi lebar dengan cap persegi emas dan perak metalik pada bagian tengah. Papa dengan tangkas melipat kertas-kertas berwarna kuning terang tersebut hingga berbentuk tabung dengan cuping di kedua sisinya. Kata Papa, seperti inilah bentuk batang emas pada zaman Feodal di Tiongkok sana.

“Ya ampun, aku sampe lupa ini hari Ce It* ya?”, aku segera duduk dan membantu Papa melipat kertas-kertas jianqian*.

Papa hanya diam. Bahkan dalam remang pagi gurat kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. Aku harus menggigit bibirku demi menahan tanya akan ketegangan yang sedari kemarin memenuhi seisi rumah. Untuk pertama kalinya selama 15 tahun hidupku Papa tak membuka toko kelontong yang menjadi sumber penghidupan kami. Ia menghabiskan sepanjang hari merokok dan membakar bendera serta kaos merah bergambar palu arit pemberian seorang teman baik.

Tak lama adik perempuan ku mulai sibuk keluar masuk dapur membawa piring-piring besar berisikan pindang bandeng, ayam bumbu kuning, mie goreng sapi, buah jeruk, serta 2 mangkuk nasi dan sumpit. Dengan sigap Ia menata piring sansheng* di depan foto hitam putih A Kong* dan A Ma* di atas altar kayu sederhana kami. “A Lin, sudah mandi dulu. Sisanya biar Mama yang beresin.”, terdengar seruan Mama dari dapur.

***

5.50 WIT
Aroma dupa meruap hingga ke sudut-sudut ruangan. Aku sudah mengenakan seragam putih biruku dan A Lin dengan seragam putih merahnya. Berempat kami memegang 2 batang dupa berwarna merah di depan altar, secara bergantian membungkukan badan tanda penghormatan kami kepada sang leluhur, dan menancapkan dupa kami masing-masing.

Jam sudah hampir pukul 6. Aku segera keluar ruangan dan mengeluarkan sepeda ontelku. Kedua telingaku masih siap siaga mencuri bisik percakapan apapun antara Mama dan Papa.

“Kita tunggu 1 hari lagi. Jika besok keadaan terus memburuk kita pergi Jogja. Kamu ingat Ci Melly kan? Suaminya seorang Jendral. Kita aman disana.”

“Kenapa harus menunggu besok? Pa, aku dengar di Kediri mereka semua diangkut ke truk besar. Entah mereka diapakan. Kita harus pergi sekarang.”

“Mereka para anggota pengurus partai. Kita ini kan hanya menerima bantuan mereka. Bendera dan kaos pun ku terima sebagai wujud terima kasih. Tidak enaklah menolak hanya bendera dan kaos setelah semua bantuan mereka. Semua baik-baik saja, percayalah.”, kata-kata Papa terdengar seperti usahanya untuk menenangkan diri sendiri.

Pa, Ma, A Lin sama Koko berangkat ya.”, adikku berlari keluar kamar sembari mengenakan dasi SD berwarna merahnya dan mengeluarkan sepeda ontelnya. Mama mengikutinya dari belakang dan memberikan 3 bungkus nasi dengan lauk sembahyang tadi. “Ini bekalnya buat A Sen, A Lin, sama 1 lagi buat Rama ya.” Aku tersenyum dan mengambil kantong plastik tersebut.

***
6.20 WIT
Aneh, jalan kecil tak beraspal ini nampak begitu lengang dibanding hari-hari biasanya. Sejauh kami memandang tidak nampak para petani yang menuruni bukit menuju hamparan sawah di sebelah kanan kami, tak kami temui pula bocah-bocah yang berlari menyusul ibu mereka ke sungai untuk mencuci baju. Bahkan Rama yang biasanya menunggu di persimpangan jalan untuk nebeng di sepeda ontelku tidak menunjukkan batang hidungnya. Rasanya tidak mungkin Rama tidak masuk sekolah. Bulan lalu ia dihajar sedemikian rupa oleh Ayahnya untuk berhenti sekolah saja Ia nekat kabur demi mengikuti ulangan Bahasa Inggris.

Lin, kita tunggu Rama bentar ya. Mungkin sebentar lagi.”, aku menghentikan laju sepedaku.

“Aku duluan aja deh Ko, aku piket hari ini.”, sepeda A Lin terus melaju.

Aku berlari dari sepedaku dan menarik boncengan di belakang sepeda A Lin, “Jangan! Kita mesti bareng!”

A Lin tersontak kaget. Namun belum sempat berkata apa-apa terdengar suara dentuman dari kejauhan. Asap hitam membumbung tinggi disusul suara tembakan bertubi-tubi dan pekik melengking. Ya Tuhan, apa yang terjadi?

“A Sen! A Lin! Sudah kuduga, dasar gila!” teriak parau terdengar jauh di depan persimpangan jalan. Terlihat Rama berlari bertelanjang kaki. Tersengal-sengal, napasnya memburu.

***
2 Oktober 1965, 14.45 WIT
Penjemputan paksa serta pembunuhan 6 Jenderal besar Republik Indonesia oleh antek-antek Komunis membawa ketegangan luar biasa di Ibu Kota. Atas mandat Presiden Soekarno, saat ini Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan TNI – AD dan berhasil memukul mundur para Komunis. Pada pukul 12.00 siang ini di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Halim Perdana Kusuma berhasil diambil alih satuan RPKAD. Mari rakyat kita bersama melanjutkan perjuangan Jenderal-Jenderal besar kita! Cari dan basmi semua antek-antek Komunis!

A Lin menutup kedua telinganya dan membenamkan wajahnya pada kedua lututnya. Aku berusaha menenangkan diri. Suara berapi-api yang samar kudengar dari radio begitu membuatku mual. Beragam pemberitaan di radio dan koran-koran lebih seperti seruan propaganda pembunuhan. Aku tidak tahu apa itu Komunis, apa itu RPKAD. Yang pasti setiap penjuru desa mulai koyak oleh kekerasan. Bau amis dan busuk menyergap hingga ke balik dinding bambu tipis tempatku bersembunyi selama satu hari ini.

Tiba-tiba dinding bambu yang menjadi pelindung kami tersingkap. Wajah lembut seorang wanita Jawa yang sarat dengan kekhawatiran tersenyum di depan kami.

“Ayo kalian berdua keluar dulu. Makan, wis siang.”, kata Simbok.

Perlahan kami berdua keluar menuju ruang tengah yang hanya berisikan 2 kursi kayu dan meja dengan radio di atasnya. Rama keluar dari balik dapur sembari membawa 2 piring nasi dan gelas. Berempat kami duduk di lantai semen dingin, masih diliputi ketegangan yang sama.

“Kalian orang baik, kenapa nasib kalian seperti ini”, Simbok memecah keheningan.

“Mama dan Papa mu Sen, Lin, sing mbayar uang sekolah Rama dari tahun lalu. Bapak’e mana mikirin. Maunya anak’e kerja mbantu di sawah. Tapi Simbok pengen cah bagus ku pinter. Jadi orang sing sukses. Tapi duit buat makan aja susah. Sing Mama Mu Sen, Lin tiap pagi ngasi nasi uduk buat Rama makan.”, Simbok tidak dapat menahan haru.

“Aku tau kalian ga mungkin anggota Komunis itu. Ga mungkin Mama Papa mu ikutan kelompok gituan. Tapi banyak orang Cina juga ditembakin, padahal salah apa nduk mereka. Mereka cuma nerima bantuan, mereka dibodoh-bodohi.”, tangis Simbok semakin menjadi.

Simbok kira kemarin kalian uda kabur, lari. Tapi kata Rama kalian pasti masih ke sekolah. Mama Papa kalian ga pernah naru curiga sama orang, heran aku. Untung cah bagus ku nyusul kalian.

Aku dan A Lin terdiam. Kami mengusir pikiran buruk yang mungkin terjadi pada Papa dan Mama. Aku ingin sekali kembali ke rumah. Namun kata Simbok jalan sudah begitu berbahaya. Lebih baik kami bersembunyi disini.

Disini tetap saja berbahaya. Bapak pasti lebih memihak para tentara. Kalian punya keluarga di luar daerah ini kan?”, kata Rama.

***
3 Oktober 1965, 02.15 WIT
TNI! Buka pintunya!”, terdengar suara berat disertai gesekan puluhan sepatu dan tanah di depan pintu rumah Rama.

Aku dan A Lin terbangun. Menahan napas dalam tempat persembunyian kecil kami. Rasa takut menyergap ke seluruh tubuh dan kami bergandengan tangan menatap satu sama lain. Terlambat sudah rencana kami untuk kabur ke Jogjakarta esok pagi. Jika kami harus mati hari ini, biarlah roh Leluhur sudi membiarkan kami mati dengan cepat.

“Ga ada siapa-siapa disini. Cuma Simbok, Bapak, sama anak Simbok satu yang tinggal disini.”, terdengar suara Simbok di depan pintu masuk.

Mereka tidak menggubris. Terlihat mereka dengan kasar mendorong Simbok mundur dan 3 tentara berperawakan tinggi besar dengan pakaian penuh dengan noda darah masuk ke dalam rumah. Tatapan mereka nanar, dipenuhi kebencian pada oknum-oknum yang telah mengkhianati bangsa.

Aku dan A Lin menutup mata. Ketakutan ku semakin menjadi-jadi. Suara langkah dan meja kursi yang diobrak-abrikan bagai silet yang mengiris kedua telingaku. Mereka pasti menemukan kami. Hanya mujizat yang bisa menyelamatkan kami dari ini.

Tiba-tiba dinding bambu yang menutupi kami ditarik dan ditendang paksa. Sekejap saja dinding itu penyok di segala sisi. Sontak pekikan kami terdengar dan 3 tentara yang berada hanya beberapa sentimeter dari kami seperti menemukan harta karun. Seringai serta senyum mereka serasa menusuk hingga tulang.

Mereka menatap kami dengan tatapan jijik. "Dasar tikus kecil!" teriak mereka. Salah seorang dari mereka menjambak rambut ku dan A Lin, tak menghiraukan tangis dan seruan minta ampun yang dengan putus asa kami teriakan. Mereka membawa kami ke depan rumah dan memaksa kami duduk berlutut dengan kedua tangan di atas kepala kami. Aku menutup mata, tak berani melihat pemandangan yang menyerupai neraka di sekelilingku. Hanya indra pendengaranku yang menjadi saksi; suara pintu-pintu yang didobrak, tangis dan teriakan memohon, dentuman benda tumpul, deru senapan mesin, dan makian tak beradab.

“A Sen? A Lin?”, suara ragu dan iba terdengar dari seorang tentara dengan jejeran piagam di dadanya. Kami mendongakan wajah.

Paman Pierre?!”, kami menangis sejadi-jadinya dan menghambur ke pelukan Paman Pierre yang masih menggunakan seragam loreng dan topi baret hijaunya. Wajah kelegaan nampak jelas di wajahnya. Ia memeluk dan selama beberapa detik tak henti meminta maaf pada kami.

“Mereka keponakanku. Nama mereka saya berani jamin tidak ada dalam daftar anggota Komunis di desa ini.”

“Siap Jendral, tapi mereka..”, seorang tentara yang tadi menjambak rambutku tampak tidak terima.

“Cina? Lalu kenapa? Mereka anak dari adik istri saya. Kau jangan macam-macam. Sekarang bawa mereka ke mobil saya.”

***
02.45 WIT
Kami duduk di kursi depan bersama Paman Pierre. Dibalik tubuhnya yang besar dan berkulit hitam legam, paman Pierre merupakan orang terbaik yang pernah kami kenal.

“Ketika kudeta ini berlangsung, paman langsung terpikirkan kamu dan keluargamu. Kalian tinggal di daerah yang paling terkena dampak langsung pemberontakan keparat-keparat ini. Paman langsung menjadikan wilayah ini sebagai wilayah tanggung jawab Paman demi memastikan kalian selamat. Kalian tahu, apa yang para tentara lakukan tak kalah mengerikan. Mereka tanpa ampun juga membunuh siapa saja yang mereka curigai terkait dengan aktivitas Komunis.”

 “Bagaimana Mama dan Papa?”, aku dipenuhi rasa was-was.

Kita akan segera bertemu mereka di barak. Tenang, mereka baik-baik saja.”, kata Paman menepuk kepalaku.

***
Jakarta
30 September 1980, 15.00 WIB
Kantor begitu bising pada jam-jam seperti ini. Suara mesin ketik saling sahut menyahut membuat kepalaku terkadang pening tak karuan. Aku merentangkan kedua tanganku, merilekskan diri sejenak. Tatapan ku tertuju pada bingkai foto keluarga di depan mesin ketikku; Mama, Papa, Paman Pierre, Tante Mei, aku, dan Josephine.

Tidak terasa 15 tahun sudah semenjak peristiwa kelam GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) 1965 yang mengubah wajah Indonesia serta menjadi titik balik kehidupan keluargaku. Potret hitam yang sampai detik ini masih menimbulkan pertanyaan ganjil dan menaruh luka yang dalam pada sejarah bangsa ini. Hilangnya nyawa ratusan ribu orang, keluarga-keluarga yang tercerai berai, dan daftar hitam nama-nama mereka yang tertahan sebagai tahan politik tanpa pernah diadili.

Keluargaku membuka lembaran baru selepas bertemu dengan Mama dan Papa di barak TNI pada 1965 silam. Selama 2 tahun lamanya kami menetap di kediaman Paman Pierre hingga akhirnya hijrah ke Jakarta pada pertengahan tahun 1967. Hidup tidak terasa lebih mudah. Kami lepas dari peristiwa Gestapu namun masih menghadapi segelintir penolakan di tanah kelahiran sendiri. Pada tahun itu tepatnya 7 Juni 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan surat perintah yang isinya mewajibkan kami mengganti nama kami ke dalam Bahasa Indonesia, pelarangan kepemilikan tanah di pedesaan, pelarangan sekolah Tionghoa, pengetatan seleksi masuk universitas, hingga pembatasan kegiatan keagamaan. Namaku tak lagi Oey A Sen, melainkan Joshua Limbudi dan adiku tak lagi Oey A Lin melainkan Josephine Limbudi. Rama? Tentu aku masih bersahabat dengan teman masa kecilku itu. Tiap akhir tahun kami selalu menyempatkan diri bertemu. Saat ini Ia sudah menikah dan menetap di Bali bersama istri dan anaknya.

Pernah satu kali Rama berujar, mengapa aku dan keluargaku tidak pindah ke luar negeri? Bahkan pemerintah saja menekan kebebasan-kebebasan dasar kami, ujarnya.

Sesungguhnya aku tak ambil pusing. Biar orang berlaku apa, ini tetap tanah kelahiran kami. Aku jatuh cinta pada hamparan sawah di bawah kaki gunung Arjuno, suara tawa anak-anak bermain layangan di kala langit menampakkan sinar kemerahan, suara gemericik air sungai tempat ku belajar mengapung dengan Rama, hingga senyum keramahan para pedagang keliling. Dari tanahnya segala yang kami makan, minum, dan pakai berasal. Kaki langitnya pun selama puluhan tahun menjadi saksi bisu segala perjuangan dan tetes keringat.

Namun jika boleh jujur, hingga detik ini aku tak hentinya memimpikan semboyan Bhineka Tunggal Ika sungguh diwujudkan di negri ini. Mungkinkah aku melihat seorang bermata sipit menjadi pejabat tinggi negara? Atau membawa baki bendera pusaka di Istana Presiden pada upacara kemerdekaan Indonesia? Kami tak kalah Indonesia-nya dengan siapapun di tanah ini. Tak ada yang tidak mungkin, bukan. Mungkin di tahun 2000. Atau 2015. Atau 2030. Aku tak peduli kalau kau bilang aku seorang pemimpi, aku masih menanti.

Keterangan:
*Ce It: Waktu pemujaan dan penghormatan masyarakat Tionghoa terhadap Roh Leluhur yang dilakukan setiap bulan pada tanggal 1. Pemujaan dan penghormatan ini dilakukan dengan menyediakan makanan, buah-buahan, dan uang kertas.
*Jinqian: Pembakaran uang kertas merupakan tradisi masyarakat Tionghoa di hari Ce It. Mereka percaya bahwa para Leluhur memerlukan uang di dunia akhirat untuk dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. Uang tersebut dikirim oleh sanak saudara mereka yang masih ada di dunia.
*Sansheng: Menu yang terdiri dari ayam, ikan dan sapi untuk dipersembahkan kepada leluhur.
*Akong dan Ama: Kakek dan Nenek




Wednesday, May 27, 2015

"Cukup"



Pernahkah dalam pikirmu bertanya; Sampai titik mana kata “cukup”, wajar terlontar?

Sampai tubuhmu rontok oleh rasa lelah yang menjalari tiap pori, sampai mereka (yang bahkan tak secuil pun peduli rasamu) untuk tak terhitung kalinya memandang dengan tatap menghakimi, sampai hari tak lagi menjanjikan harap yang ratusan hari kau pupuk?

Hidup tak semudah itu mengasihanimu, kawan. Kata “cukup” tak serta merta menghentikan setan melemparkan kerikil tajam dalam persimpangan jalanmu.

Namun entahlah, kata “cukup” punya cara yang aneh dalam memberi ruang untuk kelegaan pikir dan batin. Ia terngiang dalam sunyi sudut kamar, disertai beberapa tetes airmata, serta helaan napas panjang. Terkadang ia berbisik dalam bingar tawa mereka yang tak lagi mau terikat apa yang di belakang. Tak jarang pula ia nyaring terdengar dalam maki dan debuman tumpul.

Hidup itu lucu. Terpontang panting semua dibuatnya, tapi pada akhirnya ia yang kembali memperlihatkan cuplikan skema besar bahwa semua itu memang diijinkan terjadi. Mungkin ia bermaksud menyadarkan bahwa yang selama ini kau pegang erat tak seharusnya menjadi sumber kebahagiaan. Atau mungkin sebagai cerminan kelemahan diri yang selama ini tertutupi bahkan dari dirimu sendiri.

Selalu, hidup memberikan sambutan hangat dalam setiap pengenalan batas dan nilai diri yang berujung dengan kata “cukup”. Walau terseok dan penuh lebam kau dibuatnya, kantungan pelajaran dan introspeksi menjadi bekal sehat untuk pertumbuhan pribadimu di kala esok.



Jadi, pernahkah dalam pikirmu bertanya; Sampai titik mana kata “cukup”, wajar terlontar?


Chrisella
27 Mei 2015

Thursday, April 9, 2015

Di Antara Tanda Tanya


Seperti rekahan bunga semi pertama ia menyapa
Melantunkan nada cinta tanpa kata
Menggenggam mimpi bersama juntaian asa
Siapa kan sangka

Hangat mentari senja hadir di kedua bola matanya
Mengisahkan sajak cinta tanpa ujar
Memupuk bibit rindu beriring cita
Siapa kan sangka

Tak seorang duga kata di akhir laman
Entah ukiran ria atau lara kan disana
Yang pasti sudah sedari awal aku bersiap 
Jatuh di antara tanda tanya



Chrisella

9 April 2015



Friday, March 6, 2015

Sebatang Rokok dan Secangkir Teh



"Tik.. Tikk. Shhhhh."

Samar suara pemantik api menyulut rokok keretek memecah senandung apik jangkrik malam. Sejenak rambut kecoklatannya yang turun hingga pelipis, batang hidungnya yang bangir, dan sorot matanya yang sendu tersorot cahaya jingga api.

Bisik angin malam menyapa wajahnya sembari dihirupnya rokok itu dalam-dalam. Dengan mata terpejam dan pikiran yang tak ayal kemana, dihembuskannya napasnya perlahan, membuat kepulan asap putih dengan aromanya yang khas menari membentuk siluet elok tak berparas. Aksara perlahan mengangkat kakinya dari dingin lantai marmer dan dan merebahkan punggungnya pada tembok balkon putih pucat di belakangnya. Ditengadahkannya kepalanya ke langit, menghitung titik kerlip cahaya nun jauh yang terhitung jumlahnya. "Tak berbelas kasihan kah kau menghibur si nelangsa ini?", ringisnya.

Aksara membenamkan lamunannya pada satu hari di bulan Desember. Hari ketika senyum dan tawa seorang anak manusia mampu menjadi penopang segala kelam. Hari ketika cinta dan janji begitu lugas diucap karena masa kini yang sepenuhnya berkuasa membuatnya tak lebih kuat dari bocah ingusan belajar berjalan. Dan hari ketika kata "maaf" tak lebih menyakitkan dari duri dalam daging yang diceritakan seorang Rasul itu.

Sesaat Aksara terlena dengan gemericik gerimis yang mulai turun dan menebarkan bau tanah basah di penghujung hari. Dibenamkannya puntung rokok pada asbak kaca penuh sesak di sebelah kanannya, mengambil sebatang rokok dari kardus ketiganya hari itu, dan memantik apinya. Berharap malam menyapu habis rindunya dan tak lagi menyisakan tanya.

***

Annika meraih cangkir tehnya, mendekapnya dengan kedua jemari tangannya, dan menikmati kehangatan menjalari setiap jengkal buku-buku jarinya. Perlahan ia menghirup tehnya sembari termenung menatap langit malam lewat jendela yang berseberangan dengan meja berserakan kertas-kertas sketsa. Bagi Annika, langit malam bagaikan sebuah lukisan Sang Pencipta yang terselip cinta. Begitu damai dengan kerlip gemintang ditemani cahaya cantik bulan.  Ia menghela napas panjang. “Namun sejak kapan kau menitip sejumput kenangan ini lewat malam?”, pikirnya lirih.

Ia teringat derai tawa yang mengalun dari bibirnya sepanjang hari, juga sorot mata bersahabat untuk mereka yang di dekatnya. Tapi ketika fajar menyembunyikan rupa dibalik temaram langit malam, ia tak berdaya. Tak berdaya menyembunyikan kekalutan batinnya yang bertanya kabar pria yang secara penuh mengisi ruang hatinya. Sedang apa dia sekarang? Masihkah ia menghabiskan malam di sudut balkon kamarnya? Sesakkah hatinya oleh rindu yang membuncah ini?

Annika melirik jam yang terpampang di halaman depan telepon genggamnya. Pukul 21.14. Ia tak tahan lagi. Diambilnya telepon genggamnya. Ingin rasanya menekan tombol angka dan mendengar suara berat dari ujung telepon. Tetapi diurungkannya niatnya. Ia membuka kotak pesan dan menulis sebaris kata, “Aku kangen…” Tidak, tidak. Dihapusnya lagi sebaris kata itu. Rasanya terlalu naif tanpa asal muasal mengumbar kata rindu semurah itu. “Hai, apa kabar?”, rasanya lebih masuk akal. Ia tersenyum menatap layar kacanya. 

Hatinya berdegup kencang dan tangannya basah oleh rasa gugup yang menghampirinya. Tinggal menekan sebuah tombol kirim sebenarnya. Namun entah untuk yang keberapa kali, sekelebat memori itu kembali menghadang.


“Rasanya ini bukan waktu yang tepat. Aku bahkan berpikir ulang tentang angan-angan kita yang dahulu. Menikah bukan perkara sepele, Aksara. Karirku sedang melejit saat ini. Bulan depan bahkan aku harus ke London kemudian langsung ke Bei Jing beberapa minggu untuk fitting gaun pesta klienku. Lagipula hey, kita masih sama-sama muda sayang, tak usahlah terlalu muluk bicarakan menikah, menikah, dan menikah.”
“Berapa kali harus kukatakan, aku mengerti semua kesibukanmu. Hanya saja aku juga punya batas Annika. Aku lelah menunggu kepastian kapan pernikahan kita segera dilaksanakan. Kita sudah lama bertunangan dan akan lebih baik jika kita mengikat janji pernikahan kita selagi kita juga tetap berfokus pada karir kita masing-masing. Aku janji pernikahan kita ga akan menghambat ini semua. Kamu dengerin aku, ya?”
Aku sesaat terdiam.
“Maaf Aksara.. Aku ga bisa korbanin karir aku.” 

Matanya tak lagi menitikkan air mata mengingat hari itu. Perlu ratusan malam untuk mengakui bahwa ia –sang pembuat keputusan- lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas berakhirnya kisah yang terbina semenjak mereka masih duduk di bangku kuliah dulu. Ia menyesali tiap kata yang meluncur tajam dari lidah terkutuknya; menyia-nyiakan cahaya hidupnya untuk cahaya sesaat yang membutakan pilihan hatinya.

“Maka biarlah saat ini aku yang menunggu. Menunggu ia merindukanku.”, pikirnya. Karena kapan saja saat Aksara ingin kembali, hatinya terentang untuk memberikan cinta baru yang dengan sungguh akan ia jaga.

Teh di hadapannya sudah mendingin dan telepon genggamnya telah ia lempar sembarang ke tumpukan kertas sketsa di depannya. Annika kembali memandang langit malam. Ia selalu menyukai langit malam yang seolah menyampaikan, “Apa yang terjadi dan kau rasakan hari ini, cukup untuk hari ini. Beristirahatlah. Pejamkan matamu. Bersamaan dengan terbitnya sang fajar di ufuk timur, esok kan lebih baik.” 

--------------------------------------------------------------------------------
"His cigarettes are running one after another, trying to forget her. While her tea is getting cold as she waits for him to miss her"

-------------------------------------------------------

* Duri dalam daging: Diucapkan oleh seorang Rasul dalam sebuah ayat di Kitab Suci. Frase ini merujuk pada penderitaan jasmani yang berpengaruh pada dia secara pribadi dan fisik. Ini barangkali sesuatu yang membuat dia sangat kesakitan, dan juga sedikit rasa malu, karena hal-hal ini "memukul" dia. 


Chrisella

6 Maret 2015


Monday, March 2, 2015

Nona Berpayung Pastel




Tidak ada yang istimewa. Hari ini hari yang begitu biasa dengan rintik hujan menjelang senja. Namun siapa sangka seolah langit telah menentukan garis pertemuan kita di hari ini. Begitu sederhana. Begitu manis.

Masih jelas terbayang di sudut ingatan. Kau, di bawah temaram lampu kuning stasiun kota yang rengkuh berdiri termakan usia menunggu entah apa atau siapa. Dengan payung lipat berwarna pastel lembut dalam genggaman dan switer hijau tua terlipat hingga ke siku menengadah menatap langit yang berangsur kelabu. Sesekali kau bergeser memberi tempat pada pejalan kaki atau pengendara beroda dua yang tergesa meneduhkan diri dari derasnya hujan yang tak kunjung reda.

Hey Nona, tahukah engkau tiap senja aku disini; memperhatikan tiap individu diam, lalu, dan lalang tak henti di detik hariku yang membosankan. Namun hari ini, kehadiran mu yang baru kulihat membuat udara bahkan terasa begitu berbeda. Mungkinkah itu karena sorot mata mu yang hangat, namun sarat kesedihan? Atau mungkinkah karena senyum masam –yang walau tampak begitu sendu tak mampu menyamarkan elok paras mu- yang sesekali terulas di bibir mungilmu? Entah hal apa yang menderu di pikiran mu saat ini. Kegetirankah yang sedang kau ingat Nona berpayung pastel?

Aku bukan seorang pecinta hujan. Boleh dikata, aku tak pernah mendapat hal baik di hari tiap tetesan air ini bergemerisik di atap stasiun kota. Namun kali ini, sebagai saksi bisu mala-ku di tiap pergeseran hari, bolehkah aku meminta langit berbaik hati menitikkan airnya sedikit saja lebih lama? Aku ingin perasaan yang berbeda ini singgah lebih lama, kali ini saja.

Ah! Tak kusangka mata kami bertemu. Kau tersenyum, dengan mata berbinar, dan nampak sedikit ragu sesaat. Kau mencari entah apa dari dalam tas selempang hitam bermotif putih abstrak mu dan perlahan menyeruak diantara kerumunan mereka yang berteduh. Dengan langkah kecil berjalan ke sudut ku bergelung memperhatikan tiap laku manismu. 

Kau membungkuk tepat di hadapanku. Begitu dekat hingga aroma manis –entah minyak wangi atau makanan- darimu begitu terasa. Dengan payung pastel yang diletakan sebelah kanan tumpuan lututmu dan tangan kirimu yang terisi serpihan roti daging isi.



“Lucunya anjing kecil ini. Pasti lapar dan kedinginan ya, ayo makan.”, kata Nona berpayung pastel seraya membelai sayang kepala hingga punggungku. 


Chrisella
18 Februari 2015

Monday, February 16, 2015

Kisah Sebentar


karena melalui singkatnya cerita paling tidak Tuhan sudah mengabulkan 1 doaku
untuk jatuh cinta sedalam-dalamnya

sesakit-sakitnya


Chrisella
10 Februari 2015