Saturday, July 29, 2017

Bunga Tidur


Related image


“2 Americano, 1 cappuccino, and 1 iced latte.”, kataku sembari melirik catatan pengingat di layar ponselku.

And for take away please.”, buru-buru aku menambahkan.

Gadis dengan rambut dicat pirang yang terlihat baru berusia belasan ini menanyakan namaku, mengetik angka di mesin kasirnya, dan berkata singkat, “Okay, 23 dollars and 1 cent Miss Karin.”

Aku mengeluarkan 3 lembar $10, mengambil kembalian, dan mencari tempat duduk yang paling dekat dengan meja pembuat kopi. Biasanya meja tepat di depan pintu kaca café menjadi tempat favoritku menikmati secangkir cappuccino hangat. Aku bisa leluasa memperhatikan baik kesibukan barista dan senda gurau para penikmat kopi maupun lalu lalang pejalan kaki di bawah temaram langit sore.

Namun aku tak punya banyak waktu kali ini. Ini senin pertama di bulan Juni dan untuk kali pertama aku kalah dalam permainan koin dengan rekan-rekan kerjaku. Permainan ini selalu kami lakukan di setiap Senin pagi. Kami memilih salah satu sisi dari koin $1 Singapura –tentu aku selalu memilih sisi bunga daripada singa-, koin dilempar, dan orang yang memilih sisi yang terlihat saat koin jatuh di tanganlah yang harus membeli kopi untuk orang-orang yang ikut bermain. Sialnya pagi tadi ketika hanya tersisa aku dan Meg, koin menunjukan sisi singa.

Seraya menunggu namaku dipanggil, aku mengedarkan pandang ke sekelilingku. Atmosfir pagi membuat café berdinding kaca ini menjadi tempat yang sungguh berbeda dari yang biasa ku kunjungi di sore hari. Café yang kukenal dengan pendar sendu lampu orange yang menyerap bersama meja-meja dan bangku-bangku kayunya menjadi café yang penuh gairah semangat dengan sinar mentari yang menyeruak dari dinding-dinding kaca.

Aku tergoda untuk mengeluarkan buku sketsaku. Di ujung sana, tepat dibawah papan bertuliskan Jewel Coffee, duduk seorang pria bersetelan jas dengan putrinya yang berseragam sekolah dengan bando besar bermotif kuping kelinci berbulu putih. Gemas sekali rasanya.

Dengan tergesa aku membalik-balik halaman buku sketsaku, mencari halaman yang masih kosong diantara sedemikian penuh corat-coret iseng. Ah, akhirnya. Tepat di tengah buku aku memulai coretanku. Asal saja, aku bisa menyelesaikannya di rumah nanti sepulang kerja. Bentuk mukanya yang bulat dengan poni di atas alis tebalnya, mata yang sipit, hidung yang bangir, dan ya, jangan lupa bando menggemaskannya itu. Lalu..

“Miss Karin? Miss Karin?”, panggilan dari meja kasir membuatku tersentak.

“Oh right here, one second.”, aku menutup buku sketsaku.

***

Perlahan aku berjalan, menikmati bunyi “tuk tuk tuk” kecil dari hak sepatu pantofelku di antara ratusan pejalan kaki di Shenton Way ini. Hanya membutuhkan 4 menit untuk berjalan kaki dari café ke kantor sebenarnya, tapi rasanya aku ingin berlama-lama di jalan sibuk ini. Kantor bisa menjadi begitu gila dan bising saat rekananku berada di saluran telepon mereka masing-masing. Terkadang bisa betulan gila aku dibuatnya.

Tapi itu semua soal mindset bukan? Hariku akan menyenangkan selama pikiranku dipenuhi hal-hal positif. Aku menarik napas panjang dan memandang gedung tinggi berdinding kaca kelabu beberapa langkah di depanku. Baiklah, mari kita mulai hari ini. Aku melangkah mantap sembari menenteng cup carrier di kedua tanganku ketika tiba-tiba nada dering handphone ku berbunyi. Mungkin salah satu rekan kerjaku yang keheranan dengan lamanya waktu yang kubuang hanya untuk membeli kopi. Namun foto seorang pemuda berkulit sawo matang dengan kamera dikalungkan di lehernya nampak di layar handphone dengan sebaris nama, Ethan Christian. Jantungku mencelos.

***

Aku merentangkan kedua tanganku dan mendorong kusen jendela kaca selebar-lebarnya. Sembari memijakan kaki pada meja kayu yang dipenuhi coretan tip-ex, aku melompat naik dan duduk di pinggiran tembok yang tersisa di tepian jendela. Kurasakan dingin angin sore menerpa lembut wajahku.

“Than, maskot majalahnya jadi sampul bulan ini ya. Nanti aku buat dia pakai baju merah putih terus pegang bendera, lucu kan?”

Aku menolehkan pandang pada manusia bertubuh mungil dengan rambut kecoklatan panjang tergerai.

“Rin, ga cape apa di depan komputer terus? Istirahat dulu lah sini”, aku menahan tawa melihat raut wajahnya yang mulai acak adut memikirkan edisi kemerdekaan majalah sekolah kami.

Karin membenarkan letak kacamatanya dan menatapku sinis, “Iya deh yang uda tenang wawancara sama kepala sekolahnya uda beres. Duh kamu ga takut jatuh apa.” Tapi toh ia tersenyum dan bangkit juga dari tempat duduknya.

Sambil menumpukan kedua tangannya pada tepi bawah jendela ia berdiri di sampingku dan menikmati pemandangan dari ketinggian tempat kami berada; siluet jingga mentari yang perlahan menangkupkan sinarnya dilatarbelakangi suara riuh rendah dari lapangan basket di bawah kami.

 “Ga kerasa ya ini tahun terakhir kita disini. Pernah kebayang ga 5 sampai 10 tahun dari sekarang kita jadi apa Than?”, ujar Karin memecah keheningan. Suaranya kini terdengar lebih melankolis. Begitu lembut namun sarat tanda tanya akan persimpangan kehidupan yang sebentar lagi tiba di depan kami.

“Tentu. Aku akan mondar-mandir bandara Rin. Senin di US wawancara Hillary Clinton, besoknya di Syria ngeliput perang, besoknya balik Indonesia kejar berita korupsi setan-setan keparat…”

“Hahaha, gundulmu Than!”, Karin menyikutku. “Kalo seenak itu semua orang bakal pindah kerja jadi jurnalis. Eh, masih dengan cita-cita jurnalismu itu?”

“Ngarep boleh dong.”, aku tersenyum menimpali. “Jurnalis adalah bunga tidur yang akan kuwujudkan, Rin. Sedari kecil aku berpikir, kita hidup aman dalam tembok batasan rumah, sekolah, mall, tempat ibadah, dan tempat-tempat menyenangkan lainnya. Tapi sebenarnya ini hanya miniatur kecil dari tembok besar kehidupan yang sebenarnya. Ada beragam hal yang lolos dari perhatian di luar sana; peristiwa-peristiwa penting yang bahkan tak tersentuh dan tidak diketahui sungguh terjadi. Mereka yang hidup dalam miniatur kecil itu, perlu seseorang untuk menjadi mata, telinga, dan mulut sebagai perantara akan apa yang terjadi di luar.”

“Aku orangnya, Rin. Aku akan jadi jurnalis untuk itu. Mereka –orang-orang dalam miniatur itu- harus mengetahui sebelum disadarkan, dan disadarkan sebelum peduli, bukan?.” Aku menatap Karin yang juga tersenyum menatapku. Lega rasanya bisa berbagi mimpi dengan seseorang.

“Kamu tahu. satu-satunya hal yang bisa bikin aku lupa waktu?”, Karin kembali melayangkan pandangnya ke langit luas.

“Gambar”, Aku menjawab santai.

“100 Than!”, ujar Karin penuh semangat. “Waktu aku kecil, Papa selalu beliin aku buku-buku cerita. Hari-hari berikutnya waktu luangku kuhabiskan meniru gambar karakter-karakter yang ada di buku. Pensil warna, cat air, kanvas, drawing tablet, hingga photoshop sampai sekarang pun masih jadi teman main paling asik”

“Jadi jika aku harus pilih 1 hal yang akan dengan senang hati aku lakukan sampe tua nanti, tentu saja menggambar. Hm, masih galau sih Than antara animasi atau DKV. Menurut kamu aku cocok dimana?”, senyumnya mengembang.

Awan kelabu dengan cepat merangkak mengusir semburat jingga yang tersisa. Di bawah naungannya lambat laun rintik air turun membasahi rumput-rumput kering yang sedari lama menanti hujan.

“Than, hujan. Buruan turun”, Karin menarik lengan seragamku.

Aku tak menggubris. Lebih lagi, tubuhku cukup terlindung atap plafon yang memancung setengah meter dari jendela.

“Ga kena hujan kok. Duduk sini Rin.”, aku menggeser posisiku.

Karin terlihat ragu, namun aku mendorong meja yang sebelumnya kugunakan sebagai tempat berpijak. Ia pun menurut. Sesaat kami terlena dengan suara gemerisik air, bau tanah basah, dan pemandangan bangunan-bangunan yang nampak rengkuh terguyur hujan. Karin menengadahkan tangannya dan menampung tetesan hujan yang jatuh dari atap. Ku ikuti lakunya dan kurasakan dinginnya bulir-bulir air menjalari tiap pori.

“Rin”, panggilku.

“Ya?”, lanjutnya, memalingkan wajahnya yang mulai basah oleh recikan hujan.

“Entah kenapa, tapi seperti ada daya magis sama gambar-gambarmu, Rin. Mulai dari gambar gadis kecil yang bermimpi mengoleksi bintang dalam botol kaca sampai kelinci putih yang menyangka dirinya seekor kucing. Fantasi sederhana yang memberi perasaan ringan yang menyenangkan. Believe me, you’ll be great one day.”, aku menepuk pundaknya.

Karin mengangguk. Bibirnya membingkaikan senyum dan matanya basah entah oleh air mata langit atau air matanya sendiri.

***

Aku sedang mengeluarkan cat air ku ketika suara rintik air terdengar, samar kemudian menderas. Aku kembali terduduk di meja kerjaku, memandang sketsa seorang anak kecil berbando kelinci yang tertidur sembari memeluk kelinci kecilnya dan cat air yang belum tersentuh. Kusibakkan gorden di samping meja kerjaku dan sekejap aku terhanyut dalam bunyi dan melankoli sang air mata langit. Rintik dan aromanya tak pernah gagal memetik penggalan kenangan akan seorang pemuda yang kini menghidupi impian masa kecilnya.

Ethan Christian.. Masih teringat jelas rautnya ketika aku mengatakan kedua orang tuaku bercerai dan aku akan mengikuti Mama pindah ke Singapura.

“Terusin mimpi kamu disana ya, Rin.”, ujarnya saat mengantarku ke bandara satu hari setelah acara kelulusan SMA berlangsung. Saat itu aku berpikir betapa egoisnya dia, seenaknya mengatasnamakan mimpi sebagai alasan untuk mencampakkan realitas. Pernahkah ia merasakan Papa yang selama 1 tahun meninggalkan rumah untuk seorang wanita muda, Mama yang tak henti bekerja sepanjang hari dan menangis sepanjang malam, hingga tatapan mengasihani dari setiap orang? Aku tak bisa menyia-nyiakan banting tulang Mama demi mimpi yang tak seorang tahu membawaku kemana. Satu-satunya harapan hidup Mama yang tersisa hanya aku.

“Aku sayang kamu”, adalah kata-kata terakhir Ethan saat memelukku di gerbang keberangkatan. Dadaku begitu sesak oleh rasa bahagia sekaligus hancur. Aku mengagumi, menghormati, dan mencintai jiwanya yang tulus namun disaat bersamaan aku tahu jalan kami kedepan tak akan lagi saling bersinggungan.

Pagi ini, nama yang setengah mati aku kubur bersama mimpi-mimpi ku seiring kepergianku ke Singapura muncul kembali tanpa pertanda apapun.

***

Aku tak lagi tahu kabarnya setelah ia pergi ke Singapura, tak satu pesanpun ia jawab. Yang aku tahu ia mendapat beasiswa dari salah satu sekolah bisnis terkemuka dan saat ini bekerja sebagai konsultan perekrutan; paling tidak itu yang dikatakan teman baiknya saat reuni SMA kami berlangsung. Aku sempat terhenyak ia tak meneruskan bakatnya disana namun aku tak mau membuang kesempatan lebih lama untuk menanyakan kontak Karin yang bisa kuhubungi. Jane, teman SMA kami nampak ragu awalnya, namun ia memberiku kontak Line Karin dan demi apapun, aku senang bukan main.

Kepalaku begitu runyam memikirkan percakapan apa yang harus kukatakan setelah 6 tahun lebih aku tak mendengar kabarnya. Dan sepertinya surga begitu berbaik hati, tak berapa lama aku dikabarkan sebagai perwakilan stasiun televisi tempatku bekerja untuk meliput persiapan pembukaan SEA Games 2015 di Singapura. Tanpa pikir panjang aku meng-add Karin dan meneleponnya.

Tak terasa ini hari kedua ku bertugas di Singapura sekaligus hari aku akan bertemu dengan Karin. Menyenangkan rasanya, setelah sekian lama akhirnya aku akan kembali bertemu dengan gadis yang selama ini hanya bisa kuraih sejauh mimpi. Aku bahkan sengaja datang 30 menit lebih awal di café ini agar lebih terbiasa dan nyaman dengan lingkungan asing di sekitarku. Ah, itu dia..

“Hey, Than! Apa kabar?”, ia masih secantik dulu.

***

Aku menghempaskan diri ke kasur kecilku dan mengulang putaran klip yang tak henti bermain di kepalaku. Aku dan Ethan yang sepanjang malam berjalan di pinggiran kota tertawa membahas kekonyolan masa SMA, mencoba berbagai jajanan, hingga percakapan serius karir dan berbagai rencana kami ke depan. Ethan, ia masih pemuda idealis dengan segudang humor seperti 6 tahun silam.

Dengan mata berbinar Ethan menceritakan kepadaku bagaimana ia harus siap siaga 24 jam untuk sebuah berita yang dipenuhi tantangan baru setiap harinya. Sedangkan aku, hanya pegawai kantor berkeseharian monoton yang mengubur dalam bakat lahirnya. Aku merasa begitu kecil; seorang pengecut yang tak berani mengejar apa kata hati dan mimpinya dan menyerah pada nasib. Apakah terlalu dini untuk mengatakan aku tidak bahagia dengan segala pencapaian ini?

Sebuah ide menyentakku. Aku melompat dari kasur dan membongkar lemari tempat aku menyimpan segala karya lukisku. Satu-persatu kupandangi mereka seperti bayi renta yang baru lahir dari rahim ibunya. Mereka karyaku. Dan aku bangga pada semua karya ini.

Tanganku bergetar oleh gembira yang membuncah tiba-tiba. Aku sontak meraih handphone ku dan menelepon Ethan.

“Aku tahu ini terdengar gila, sinting, apapun namanya. Tapi aku masih simpan semua gambar-gambarku. Mereka portofolio ku, Than. Dan aku akan coba mengirim mereka ke studio animasi besok. I mean, tidak pernah terlambat untuk membangunkan bunga tidurku bukan?”, aku segera menyerocos tanpa mengijinkan Ethan berkata apapun. Entah kapan terakhir aku sesemangat ini.

Ada hening sejenak dan, “Wow, ternyata si kecil ini belum melupakan mimpi-mimpinya. Kamu harus kirim, Rin. Cuma manusia bodoh yang ga terpesona sama gambar-gambarmu. It’s time for your flower to bloom.”

Percakapan kami terus berlangsung hingga 2 jam dilatarbelakangi suara rintik hujan yang perlahan turun dan membasahi tiap penjuru kota. Aku tak tahu apa yang menantiku di depan, ini barulah sebuah langkah kecil dari beribu langkah yang masih harus ditempuh. Namun selama aku memiliki seseorang yang percaya pada bunga tidurku, semua ku yakin akan baik-baik saja.