Friday, March 6, 2015

Sebatang Rokok dan Secangkir Teh



"Tik.. Tikk. Shhhhh."

Samar suara pemantik api menyulut rokok keretek memecah senandung apik jangkrik malam. Sejenak rambut kecoklatannya yang turun hingga pelipis, batang hidungnya yang bangir, dan sorot matanya yang sendu tersorot cahaya jingga api.

Bisik angin malam menyapa wajahnya sembari dihirupnya rokok itu dalam-dalam. Dengan mata terpejam dan pikiran yang tak ayal kemana, dihembuskannya napasnya perlahan, membuat kepulan asap putih dengan aromanya yang khas menari membentuk siluet elok tak berparas. Aksara perlahan mengangkat kakinya dari dingin lantai marmer dan dan merebahkan punggungnya pada tembok balkon putih pucat di belakangnya. Ditengadahkannya kepalanya ke langit, menghitung titik kerlip cahaya nun jauh yang terhitung jumlahnya. "Tak berbelas kasihan kah kau menghibur si nelangsa ini?", ringisnya.

Aksara membenamkan lamunannya pada satu hari di bulan Desember. Hari ketika senyum dan tawa seorang anak manusia mampu menjadi penopang segala kelam. Hari ketika cinta dan janji begitu lugas diucap karena masa kini yang sepenuhnya berkuasa membuatnya tak lebih kuat dari bocah ingusan belajar berjalan. Dan hari ketika kata "maaf" tak lebih menyakitkan dari duri dalam daging yang diceritakan seorang Rasul itu.

Sesaat Aksara terlena dengan gemericik gerimis yang mulai turun dan menebarkan bau tanah basah di penghujung hari. Dibenamkannya puntung rokok pada asbak kaca penuh sesak di sebelah kanannya, mengambil sebatang rokok dari kardus ketiganya hari itu, dan memantik apinya. Berharap malam menyapu habis rindunya dan tak lagi menyisakan tanya.

***

Annika meraih cangkir tehnya, mendekapnya dengan kedua jemari tangannya, dan menikmati kehangatan menjalari setiap jengkal buku-buku jarinya. Perlahan ia menghirup tehnya sembari termenung menatap langit malam lewat jendela yang berseberangan dengan meja berserakan kertas-kertas sketsa. Bagi Annika, langit malam bagaikan sebuah lukisan Sang Pencipta yang terselip cinta. Begitu damai dengan kerlip gemintang ditemani cahaya cantik bulan.  Ia menghela napas panjang. “Namun sejak kapan kau menitip sejumput kenangan ini lewat malam?”, pikirnya lirih.

Ia teringat derai tawa yang mengalun dari bibirnya sepanjang hari, juga sorot mata bersahabat untuk mereka yang di dekatnya. Tapi ketika fajar menyembunyikan rupa dibalik temaram langit malam, ia tak berdaya. Tak berdaya menyembunyikan kekalutan batinnya yang bertanya kabar pria yang secara penuh mengisi ruang hatinya. Sedang apa dia sekarang? Masihkah ia menghabiskan malam di sudut balkon kamarnya? Sesakkah hatinya oleh rindu yang membuncah ini?

Annika melirik jam yang terpampang di halaman depan telepon genggamnya. Pukul 21.14. Ia tak tahan lagi. Diambilnya telepon genggamnya. Ingin rasanya menekan tombol angka dan mendengar suara berat dari ujung telepon. Tetapi diurungkannya niatnya. Ia membuka kotak pesan dan menulis sebaris kata, “Aku kangen…” Tidak, tidak. Dihapusnya lagi sebaris kata itu. Rasanya terlalu naif tanpa asal muasal mengumbar kata rindu semurah itu. “Hai, apa kabar?”, rasanya lebih masuk akal. Ia tersenyum menatap layar kacanya. 

Hatinya berdegup kencang dan tangannya basah oleh rasa gugup yang menghampirinya. Tinggal menekan sebuah tombol kirim sebenarnya. Namun entah untuk yang keberapa kali, sekelebat memori itu kembali menghadang.


“Rasanya ini bukan waktu yang tepat. Aku bahkan berpikir ulang tentang angan-angan kita yang dahulu. Menikah bukan perkara sepele, Aksara. Karirku sedang melejit saat ini. Bulan depan bahkan aku harus ke London kemudian langsung ke Bei Jing beberapa minggu untuk fitting gaun pesta klienku. Lagipula hey, kita masih sama-sama muda sayang, tak usahlah terlalu muluk bicarakan menikah, menikah, dan menikah.”
“Berapa kali harus kukatakan, aku mengerti semua kesibukanmu. Hanya saja aku juga punya batas Annika. Aku lelah menunggu kepastian kapan pernikahan kita segera dilaksanakan. Kita sudah lama bertunangan dan akan lebih baik jika kita mengikat janji pernikahan kita selagi kita juga tetap berfokus pada karir kita masing-masing. Aku janji pernikahan kita ga akan menghambat ini semua. Kamu dengerin aku, ya?”
Aku sesaat terdiam.
“Maaf Aksara.. Aku ga bisa korbanin karir aku.” 

Matanya tak lagi menitikkan air mata mengingat hari itu. Perlu ratusan malam untuk mengakui bahwa ia –sang pembuat keputusan- lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas berakhirnya kisah yang terbina semenjak mereka masih duduk di bangku kuliah dulu. Ia menyesali tiap kata yang meluncur tajam dari lidah terkutuknya; menyia-nyiakan cahaya hidupnya untuk cahaya sesaat yang membutakan pilihan hatinya.

“Maka biarlah saat ini aku yang menunggu. Menunggu ia merindukanku.”, pikirnya. Karena kapan saja saat Aksara ingin kembali, hatinya terentang untuk memberikan cinta baru yang dengan sungguh akan ia jaga.

Teh di hadapannya sudah mendingin dan telepon genggamnya telah ia lempar sembarang ke tumpukan kertas sketsa di depannya. Annika kembali memandang langit malam. Ia selalu menyukai langit malam yang seolah menyampaikan, “Apa yang terjadi dan kau rasakan hari ini, cukup untuk hari ini. Beristirahatlah. Pejamkan matamu. Bersamaan dengan terbitnya sang fajar di ufuk timur, esok kan lebih baik.” 

--------------------------------------------------------------------------------
"His cigarettes are running one after another, trying to forget her. While her tea is getting cold as she waits for him to miss her"

-------------------------------------------------------

* Duri dalam daging: Diucapkan oleh seorang Rasul dalam sebuah ayat di Kitab Suci. Frase ini merujuk pada penderitaan jasmani yang berpengaruh pada dia secara pribadi dan fisik. Ini barangkali sesuatu yang membuat dia sangat kesakitan, dan juga sedikit rasa malu, karena hal-hal ini "memukul" dia. 


Chrisella

6 Maret 2015


No comments:

Post a Comment