Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang mampu ibunya beli. Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.
Mereka semua senyap, lalu memandangiku. Mereka tidak menduga kata-kata sebanyak itu meluncur keluar dari orang yang selama ini mereka kira arca. Dan betapa gemas mereka menanti lanjutan cerita tentang punggung ayam di negeri orang.
Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
“Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki."
Dewi Lestari - Rectoverso
No comments:
Post a Comment