Pernahkah dalam pikirmu bertanya; Sampai
titik mana kata “cukup”, wajar terlontar?
Sampai tubuhmu rontok oleh rasa lelah yang
menjalari tiap pori, sampai mereka (yang bahkan tak secuil pun peduli rasamu) untuk
tak terhitung kalinya memandang dengan tatap menghakimi, sampai hari tak lagi
menjanjikan harap yang ratusan hari kau pupuk?
Hidup tak semudah itu mengasihanimu, kawan.
Kata “cukup” tak serta merta menghentikan setan melemparkan kerikil tajam dalam
persimpangan jalanmu.
Namun entahlah, kata “cukup” punya cara yang
aneh dalam memberi ruang untuk kelegaan pikir dan batin. Ia terngiang dalam
sunyi sudut kamar, disertai beberapa tetes airmata, serta helaan napas panjang.
Terkadang ia berbisik dalam bingar tawa mereka yang tak lagi mau terikat apa
yang di belakang. Tak jarang pula ia nyaring terdengar dalam maki dan debuman tumpul.
Hidup itu lucu. Terpontang panting semua dibuatnya,
tapi pada akhirnya ia yang kembali memperlihatkan cuplikan skema besar bahwa
semua itu memang diijinkan terjadi. Mungkin ia bermaksud menyadarkan bahwa yang
selama ini kau pegang erat tak seharusnya menjadi sumber kebahagiaan. Atau
mungkin sebagai cerminan kelemahan diri yang selama ini tertutupi bahkan dari
dirimu sendiri.
Selalu, hidup memberikan sambutan hangat dalam
setiap pengenalan batas dan nilai diri yang berujung dengan kata “cukup”. Walau
terseok dan penuh lebam kau dibuatnya, kantungan pelajaran dan introspeksi menjadi
bekal sehat untuk pertumbuhan pribadimu di kala esok.
Jadi, pernahkah dalam pikirmu bertanya;
Sampai titik mana kata “cukup”, wajar terlontar?
Chrisella
27 Mei 2015