“2
Americano, 1 cappuccino, and 1 iced latte.”, kataku sembari
melirik catatan pengingat di layar ponselku.
“And
for take away please.”, buru-buru aku menambahkan.
Gadis dengan rambut dicat pirang yang
terlihat baru berusia belasan ini menanyakan namaku, mengetik angka di mesin
kasirnya, dan berkata singkat, “Okay, 23
dollars and 1 cent Miss Karin.”
Aku mengeluarkan 3 lembar $10, mengambil
kembalian, dan mencari tempat duduk yang paling dekat dengan meja pembuat kopi.
Biasanya meja tepat di depan pintu kaca café menjadi tempat favoritku menikmati
secangkir cappuccino hangat. Aku bisa
leluasa memperhatikan baik kesibukan barista dan senda gurau para penikmat kopi
maupun lalu lalang pejalan kaki di bawah temaram langit sore.
Namun aku tak punya banyak waktu kali
ini. Ini senin pertama di bulan Juni dan untuk kali pertama aku kalah dalam
permainan koin dengan rekan-rekan kerjaku. Permainan ini selalu kami lakukan di
setiap Senin pagi. Kami memilih salah satu sisi dari koin $1 Singapura –tentu
aku selalu memilih sisi bunga daripada singa-, koin dilempar, dan orang yang
memilih sisi yang terlihat saat koin jatuh di tanganlah yang harus membeli kopi
untuk orang-orang yang ikut bermain. Sialnya pagi tadi ketika hanya tersisa aku
dan Meg, koin menunjukan sisi singa.
Seraya menunggu namaku dipanggil, aku
mengedarkan pandang ke sekelilingku. Atmosfir pagi membuat café berdinding kaca
ini menjadi tempat yang sungguh berbeda dari yang biasa ku kunjungi di sore
hari. Café yang kukenal dengan pendar sendu lampu orange yang menyerap bersama meja-meja dan bangku-bangku kayunya
menjadi café yang penuh gairah semangat dengan sinar mentari yang menyeruak
dari dinding-dinding kaca.
Aku tergoda untuk mengeluarkan buku
sketsaku. Di ujung sana, tepat dibawah papan bertuliskan Jewel Coffee, duduk seorang pria bersetelan jas dengan putrinya
yang berseragam sekolah dengan bando besar bermotif kuping kelinci berbulu
putih. Gemas sekali rasanya.
Dengan tergesa aku membalik-balik
halaman buku sketsaku, mencari halaman yang masih kosong diantara sedemikian
penuh corat-coret iseng. Ah, akhirnya. Tepat di tengah buku aku memulai
coretanku. Asal saja, aku bisa menyelesaikannya di rumah nanti sepulang kerja.
Bentuk mukanya yang bulat dengan poni di atas alis tebalnya, mata yang sipit,
hidung yang bangir, dan ya, jangan lupa bando menggemaskannya itu. Lalu..
“Miss
Karin? Miss Karin?”, panggilan dari meja kasir membuatku
tersentak.
“Oh
right here, one second.”, aku menutup buku sketsaku.
***
Perlahan aku berjalan, menikmati bunyi
“tuk tuk tuk” kecil dari hak sepatu pantofelku di antara ratusan pejalan kaki
di Shenton Way ini. Hanya membutuhkan 4 menit untuk berjalan kaki dari café ke
kantor sebenarnya, tapi rasanya aku ingin berlama-lama di jalan sibuk ini. Kantor
bisa menjadi begitu gila dan bising saat rekananku berada di saluran telepon
mereka masing-masing. Terkadang bisa
betulan gila aku dibuatnya.
Tapi itu semua soal mindset bukan? Hariku akan menyenangkan selama pikiranku dipenuhi
hal-hal positif. Aku menarik napas panjang dan memandang gedung tinggi berdinding
kaca kelabu beberapa langkah di depanku. Baiklah, mari kita mulai hari ini. Aku
melangkah mantap sembari menenteng cup
carrier di kedua tanganku ketika tiba-tiba nada dering handphone ku berbunyi. Mungkin salah satu rekan kerjaku yang
keheranan dengan lamanya waktu yang kubuang hanya untuk membeli kopi. Namun
foto seorang pemuda berkulit sawo matang dengan kamera dikalungkan di lehernya
nampak di layar handphone dengan
sebaris nama, Ethan Christian. Jantungku mencelos.
***
Aku merentangkan kedua tanganku dan
mendorong kusen jendela kaca selebar-lebarnya. Sembari memijakan kaki pada meja
kayu yang dipenuhi coretan tip-ex, aku melompat naik dan duduk di pinggiran
tembok yang tersisa di tepian jendela. Kurasakan dingin angin sore menerpa
lembut wajahku.
“Than, maskot majalahnya jadi sampul
bulan ini ya. Nanti aku buat dia pakai baju merah putih terus pegang bendera,
lucu kan?”
Aku menolehkan pandang pada manusia
bertubuh mungil dengan rambut kecoklatan panjang tergerai.
“Rin, ga cape apa di depan komputer
terus? Istirahat dulu lah sini”, aku menahan tawa melihat raut wajahnya yang
mulai acak adut memikirkan edisi kemerdekaan majalah sekolah kami.
Karin membenarkan letak kacamatanya dan
menatapku sinis, “Iya deh yang uda tenang wawancara sama kepala sekolahnya uda
beres. Duh kamu ga takut jatuh apa.” Tapi toh ia tersenyum dan bangkit juga
dari tempat duduknya.
Sambil menumpukan kedua tangannya pada
tepi bawah jendela ia berdiri di sampingku dan menikmati pemandangan dari
ketinggian tempat kami berada; siluet jingga mentari yang perlahan menangkupkan
sinarnya dilatarbelakangi suara riuh rendah dari lapangan basket di bawah kami.
“Ga
kerasa ya ini tahun terakhir kita disini. Pernah kebayang ga 5 sampai 10 tahun
dari sekarang kita jadi apa Than?”, ujar Karin memecah keheningan. Suaranya
kini terdengar lebih melankolis. Begitu lembut namun sarat tanda tanya akan
persimpangan kehidupan yang sebentar lagi tiba di depan kami.
“Tentu. Aku akan mondar-mandir bandara
Rin. Senin di US wawancara Hillary Clinton, besoknya di Syria ngeliput perang,
besoknya balik Indonesia kejar berita korupsi setan-setan keparat…”
“Hahaha, gundulmu Than!”, Karin menyikutku.
“Kalo seenak itu semua orang bakal pindah kerja jadi jurnalis. Eh, masih dengan
cita-cita jurnalismu itu?”
“Ngarep boleh dong.”, aku tersenyum menimpali.
“Jurnalis adalah bunga tidur yang akan kuwujudkan, Rin. Sedari kecil aku
berpikir, kita hidup aman dalam tembok batasan rumah, sekolah, mall, tempat
ibadah, dan tempat-tempat menyenangkan lainnya. Tapi sebenarnya ini hanya
miniatur kecil dari tembok besar kehidupan yang sebenarnya. Ada beragam hal
yang lolos dari perhatian di luar sana; peristiwa-peristiwa penting yang bahkan
tak tersentuh dan tidak diketahui sungguh terjadi. Mereka yang hidup dalam
miniatur kecil itu, perlu seseorang untuk menjadi mata, telinga, dan mulut
sebagai perantara akan apa yang terjadi di luar.”
“Aku orangnya, Rin. Aku akan jadi
jurnalis untuk itu. Mereka –orang-orang dalam miniatur itu- harus mengetahui
sebelum disadarkan, dan disadarkan sebelum peduli, bukan?.” Aku menatap Karin
yang juga tersenyum menatapku. Lega rasanya bisa berbagi mimpi dengan
seseorang.
“Kamu tahu. satu-satunya hal yang bisa
bikin aku lupa waktu?”, Karin kembali melayangkan pandangnya ke langit luas.
“Gambar”, Aku menjawab santai.
“100 Than!”, ujar Karin penuh semangat. “Waktu
aku kecil, Papa selalu beliin aku buku-buku cerita. Hari-hari berikutnya waktu
luangku kuhabiskan meniru gambar karakter-karakter yang ada di buku. Pensil
warna, cat air, kanvas, drawing tablet, hingga
photoshop sampai sekarang pun masih
jadi teman main paling asik”
“Jadi jika aku harus pilih 1 hal yang
akan dengan senang hati aku lakukan sampe tua nanti, tentu saja menggambar. Hm,
masih galau sih Than antara animasi atau DKV. Menurut kamu aku cocok dimana?”,
senyumnya mengembang.
Awan kelabu dengan cepat merangkak
mengusir semburat jingga yang tersisa. Di bawah naungannya lambat laun rintik
air turun membasahi rumput-rumput kering yang sedari lama menanti hujan.
“Than, hujan. Buruan turun”, Karin
menarik lengan seragamku.
Aku tak menggubris. Lebih lagi, tubuhku cukup
terlindung atap plafon yang memancung setengah meter dari jendela.
“Ga kena hujan kok. Duduk sini Rin.”,
aku menggeser posisiku.
Karin terlihat ragu, namun aku mendorong
meja yang sebelumnya kugunakan sebagai tempat berpijak. Ia pun menurut. Sesaat
kami terlena dengan suara gemerisik air, bau tanah basah, dan pemandangan
bangunan-bangunan yang nampak rengkuh terguyur hujan. Karin menengadahkan tangannya
dan menampung tetesan hujan yang jatuh dari atap. Ku ikuti lakunya dan kurasakan
dinginnya bulir-bulir air menjalari tiap pori.
“Rin”, panggilku.
“Ya?”, lanjutnya, memalingkan wajahnya
yang mulai basah oleh recikan hujan.
“Entah kenapa, tapi seperti ada daya
magis sama gambar-gambarmu, Rin. Mulai dari gambar gadis kecil yang bermimpi
mengoleksi bintang dalam botol kaca sampai kelinci putih yang menyangka dirinya
seekor kucing. Fantasi sederhana yang memberi perasaan ringan yang
menyenangkan. Believe me, you’ll be great
one day.”, aku menepuk pundaknya.
Karin mengangguk. Bibirnya membingkaikan
senyum dan matanya basah entah oleh air mata langit atau air matanya sendiri.
***
Aku sedang mengeluarkan cat air ku
ketika suara rintik air terdengar, samar kemudian menderas. Aku kembali terduduk
di meja kerjaku, memandang sketsa seorang anak kecil berbando kelinci yang
tertidur sembari memeluk kelinci kecilnya dan cat air yang belum tersentuh. Kusibakkan
gorden di samping meja kerjaku dan sekejap aku terhanyut dalam bunyi dan
melankoli sang air mata langit. Rintik dan aromanya tak pernah gagal memetik
penggalan kenangan akan seorang pemuda yang kini menghidupi impian masa kecilnya.
Ethan Christian.. Masih teringat jelas
rautnya ketika aku mengatakan kedua orang tuaku bercerai dan aku akan mengikuti
Mama pindah ke Singapura.
“Terusin mimpi kamu disana ya, Rin.”,
ujarnya saat mengantarku ke bandara satu hari setelah acara kelulusan SMA
berlangsung. Saat itu aku berpikir betapa egoisnya dia, seenaknya
mengatasnamakan mimpi sebagai alasan untuk mencampakkan realitas. Pernahkah ia
merasakan Papa yang selama 1 tahun meninggalkan rumah untuk seorang wanita muda,
Mama yang tak henti bekerja sepanjang hari dan menangis sepanjang malam, hingga
tatapan mengasihani dari setiap orang? Aku tak bisa menyia-nyiakan banting
tulang Mama demi mimpi yang tak seorang tahu membawaku kemana. Satu-satunya
harapan hidup Mama yang tersisa hanya aku.
“Aku sayang kamu”, adalah kata-kata terakhir
Ethan saat memelukku di gerbang keberangkatan. Dadaku begitu sesak oleh rasa
bahagia sekaligus hancur. Aku mengagumi, menghormati, dan mencintai jiwanya yang
tulus namun disaat bersamaan aku tahu jalan kami kedepan tak akan lagi saling
bersinggungan.
Pagi ini, nama yang setengah mati aku
kubur bersama mimpi-mimpi ku seiring kepergianku ke Singapura muncul kembali
tanpa pertanda apapun.
***
Aku tak lagi tahu kabarnya setelah ia
pergi ke Singapura, tak satu pesanpun ia jawab. Yang aku tahu ia mendapat
beasiswa dari salah satu sekolah bisnis terkemuka dan saat ini bekerja sebagai
konsultan perekrutan; paling tidak itu yang dikatakan teman baiknya saat reuni
SMA kami berlangsung. Aku sempat terhenyak ia tak meneruskan bakatnya disana
namun aku tak mau membuang kesempatan lebih lama untuk menanyakan kontak Karin
yang bisa kuhubungi. Jane, teman SMA kami nampak ragu awalnya, namun ia
memberiku kontak Line Karin dan demi apapun, aku senang bukan main.
Kepalaku begitu runyam memikirkan
percakapan apa yang harus kukatakan setelah 6 tahun lebih aku tak mendengar
kabarnya. Dan sepertinya surga begitu berbaik hati, tak berapa lama aku
dikabarkan sebagai perwakilan stasiun televisi tempatku bekerja untuk meliput
persiapan pembukaan SEA Games 2015 di Singapura. Tanpa pikir panjang aku meng-add Karin dan meneleponnya.
Tak terasa ini hari kedua ku bertugas di
Singapura sekaligus hari aku akan bertemu dengan Karin. Menyenangkan rasanya, setelah
sekian lama akhirnya aku akan kembali bertemu dengan gadis yang selama ini
hanya bisa kuraih sejauh mimpi. Aku bahkan sengaja datang 30 menit lebih awal
di café ini agar lebih terbiasa dan nyaman dengan lingkungan asing di
sekitarku. Ah, itu dia..
“Hey, Than! Apa kabar?”, ia masih
secantik dulu.
***
Aku menghempaskan diri ke kasur kecilku dan mengulang putaran klip yang tak
henti bermain di kepalaku. Aku dan Ethan yang sepanjang malam berjalan di pinggiran kota
tertawa membahas kekonyolan masa SMA, mencoba berbagai jajanan, hingga
percakapan serius karir dan berbagai rencana kami ke depan. Ethan, ia masih pemuda
idealis dengan segudang humor seperti 6 tahun silam.
Dengan mata berbinar Ethan menceritakan
kepadaku bagaimana ia harus siap siaga 24 jam untuk sebuah berita yang dipenuhi
tantangan baru setiap harinya. Sedangkan aku, hanya pegawai kantor
berkeseharian monoton yang mengubur dalam bakat lahirnya. Aku merasa begitu
kecil; seorang pengecut yang tak berani mengejar apa kata hati dan mimpinya dan
menyerah pada nasib. Apakah terlalu dini untuk mengatakan aku tidak bahagia
dengan segala pencapaian ini?
Sebuah ide menyentakku. Aku melompat
dari kasur dan membongkar lemari tempat aku menyimpan segala karya lukisku.
Satu-persatu kupandangi mereka seperti bayi renta yang baru lahir dari rahim
ibunya. Mereka karyaku. Dan aku bangga pada semua karya ini.
Tanganku bergetar oleh gembira yang
membuncah tiba-tiba. Aku sontak meraih handphone
ku dan menelepon Ethan.
“Aku tahu ini terdengar gila, sinting,
apapun namanya. Tapi aku masih simpan semua gambar-gambarku. Mereka portofolio
ku, Than. Dan aku akan coba mengirim mereka ke studio animasi besok. I mean, tidak pernah terlambat untuk
membangunkan bunga tidurku bukan?”, aku segera menyerocos tanpa mengijinkan Ethan
berkata apapun. Entah kapan terakhir aku sesemangat ini.
Ada hening sejenak dan, “Wow, ternyata
si kecil ini belum melupakan mimpi-mimpinya. Kamu harus kirim, Rin. Cuma
manusia bodoh yang ga terpesona sama gambar-gambarmu. It’s time for your flower to bloom.”
Percakapan kami terus berlangsung hingga
2 jam dilatarbelakangi suara rintik hujan yang perlahan turun dan membasahi
tiap penjuru kota. Aku tak tahu apa yang menantiku di depan, ini barulah sebuah
langkah kecil dari beribu langkah yang masih harus ditempuh. Namun selama aku
memiliki seseorang yang percaya pada bunga tidurku, semua ku yakin akan
baik-baik saja.