Desa Mojorejo, Malang, Jawa Timur
15 September 1965, 23.20 WIT
Aku merapikan kertas-kertas soal dan
memasukkan alat tulis ke dalam tas sekolahku. Biasanya pukul 10 pun aku
sudah tertidur, hanya saja.. Ugh, aku baru ingat ada tugas matematika yang
harus dikumpulkan besok. Terlalu lama menunda pekerjaan memang seringkali
membuatku lupa.
Mataku sudah kuyu oleh rasa lelah ketika
ku lihat lampu ruang tengah masih menyala. Mungkin Mama lupa mematikan lampu.
Aku keluar dari kamarku, hendak mematikan lampu. Terlihat Mama sedang duduk di
sofa kusam yang sudah ada sejak aku lahir menghadap Papa yang termenung bersandar pada
dinding. Entah sejak kapan, tapi aku
tahu mereka seringkali berbicara serius setengah berbisik saat aku dan adikku
sudah di kamar masing-masing. Hanya saja baru kali ini aku sungguh bisa
mendengarnya.
“Pa, kita ga bisa main terima saja
sama bantuan-bantuan itu. Siapa yang tau mereka punya maksud tidak baik?”
“Tidak baik bagaimana. Mereka
satu-satunya partai yang menghargai kita sebagai bagian dari bangsa. Mama tau
sendiri, bahkan mereka berani menentang pemindahan paksa orang-orang keturunan
dari desa-desa.”
“Jangan ikut campur urusan politik,
Pa. Kita orang kecil.”
“Sudah-sudah tenang saja. Presiden
Soekarno sangat mendukung keberadaan partai ini, ga bakal terjadi apa-apa. Papa
kenal sekali dengan anggota-anggotanya. Mereka membagikan bibit-bibit serta
alat pertanian untuk para petani, bahkan memberi pinjaman untuk kita, Ma. Mama
ga liat, mereka begitu memperjuangkan perubahan tatanan sosial. Apa yang salah
dari itu?”
Apa yang sedang mereka bicarakan?
***
1 Oktober 1965
04.10 WIT
Samar suara saling adu panci penggorengan
dan spatula alumunium di dapur membuatku terbangun dari lelap. Sontak aku
menarik selimutku hingga ke atas kepala dan kian erat memeluk guling-ku yang
sudah lapuk. Suara Adzan subuh saja belum terdengar. Kenapa Mama sudah bangun
sepagi ini?
Aku hampir kembali terlelap ketika pintu
kayu dari ruangan tepat di depan kamarku berdecit. Terdengar suara sandal jepit
karet murah yang diseret diikuti suara batuk yang sudah begitu khas. Siapa lagi
kalau bukan Papa.
Aku mencoba kembali terlelap. Tapi
sudahlah, aku toh tidak akan bisa tidur lagi.
“Sen uda bangun, tumben. Sini bantu
papa”, Papa melongok dari teras rumah ketika aku membuka pintu kamarku.
Masih mengantuk aku keluar rumah dan ikut duduk bersama Papa beralaskan tikar
di beranda kecil rumah kami. Di sebelah Papa tertumpuk kertas-kertas berwarna
kuning terang berbentuk persegi lebar dengan cap persegi emas dan perak metalik
pada bagian tengah. Papa dengan tangkas melipat kertas-kertas berwarna kuning
terang tersebut hingga berbentuk tabung dengan cuping di kedua sisinya. Kata
Papa, seperti inilah bentuk batang emas pada zaman Feodal di Tiongkok sana.
“Ya ampun, aku sampe lupa ini hari Ce
It* ya?”, aku segera duduk dan membantu Papa melipat kertas-kertas
jianqian*.
Papa hanya diam. Bahkan dalam remang pagi
gurat kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. Aku harus menggigit bibirku demi
menahan tanya akan ketegangan yang sedari kemarin memenuhi seisi rumah. Untuk
pertama kalinya selama 15 tahun hidupku Papa tak membuka toko kelontong yang
menjadi sumber penghidupan kami. Ia menghabiskan sepanjang hari merokok dan
membakar bendera serta kaos merah bergambar palu arit pemberian seorang teman
baik.
Tak lama adik perempuan ku mulai sibuk
keluar masuk dapur membawa piring-piring besar berisikan pindang bandeng, ayam
bumbu kuning, mie goreng sapi, buah jeruk, serta 2 mangkuk nasi dan sumpit.
Dengan sigap Ia menata piring sansheng* di depan foto hitam putih A Kong* dan A
Ma* di atas altar kayu sederhana kami. “A Lin, sudah mandi dulu. Sisanya
biar Mama yang beresin.”, terdengar seruan Mama dari dapur.
***
5.50 WIT
Aroma dupa meruap hingga ke sudut-sudut
ruangan. Aku sudah mengenakan seragam putih biruku dan A Lin dengan seragam
putih merahnya. Berempat kami memegang 2 batang dupa berwarna merah di depan
altar, secara bergantian membungkukan badan tanda penghormatan kami kepada sang
leluhur, dan menancapkan dupa kami masing-masing.
Jam sudah hampir pukul 6. Aku segera
keluar ruangan dan mengeluarkan sepeda ontelku. Kedua telingaku masih siap
siaga mencuri bisik percakapan apapun antara Mama dan Papa.
“Kita tunggu 1 hari lagi. Jika besok
keadaan terus memburuk kita pergi Jogja. Kamu ingat Ci Melly kan? Suaminya
seorang Jendral. Kita aman disana.”
“Kenapa harus menunggu besok? Pa, aku
dengar di Kediri mereka semua diangkut ke truk besar. Entah mereka diapakan.
Kita harus pergi sekarang.”
“Mereka para anggota pengurus partai.
Kita ini kan hanya menerima bantuan mereka. Bendera dan kaos pun ku terima
sebagai wujud terima kasih. Tidak enaklah menolak hanya bendera dan kaos
setelah semua bantuan mereka. Semua baik-baik saja, percayalah.”, kata-kata
Papa terdengar seperti usahanya untuk menenangkan diri sendiri.
“Pa, Ma, A Lin sama Koko berangkat ya.”,
adikku berlari keluar kamar sembari mengenakan dasi SD berwarna merahnya dan
mengeluarkan sepeda ontelnya. Mama mengikutinya dari belakang dan memberikan 3
bungkus nasi dengan lauk sembahyang tadi. “Ini bekalnya buat A Sen, A Lin,
sama 1 lagi buat Rama ya.” Aku tersenyum dan mengambil kantong plastik
tersebut.
***
6.20 WIT
Aneh, jalan kecil tak beraspal ini nampak
begitu lengang dibanding hari-hari biasanya. Sejauh kami memandang tidak nampak
para petani yang menuruni bukit menuju hamparan sawah di sebelah kanan kami,
tak kami temui pula bocah-bocah yang berlari menyusul ibu mereka ke sungai
untuk mencuci baju. Bahkan Rama yang biasanya menunggu di persimpangan jalan
untuk nebeng di sepeda ontelku tidak menunjukkan batang
hidungnya. Rasanya tidak mungkin Rama tidak masuk sekolah. Bulan lalu ia
dihajar sedemikian rupa oleh Ayahnya untuk berhenti sekolah saja Ia nekat kabur
demi mengikuti ulangan Bahasa Inggris.
“Lin, kita tunggu Rama bentar ya.
Mungkin sebentar lagi.”, aku menghentikan laju sepedaku.
“Aku duluan aja deh Ko, aku piket hari
ini.”, sepeda A Lin terus melaju.
Aku berlari dari sepedaku dan menarik
boncengan di belakang sepeda A Lin, “Jangan! Kita mesti bareng!”
A Lin tersontak kaget. Namun belum sempat
berkata apa-apa terdengar suara dentuman dari kejauhan. Asap hitam membumbung
tinggi disusul suara tembakan bertubi-tubi dan pekik melengking. Ya Tuhan, apa
yang terjadi?
“A Sen! A Lin! Sudah kuduga, dasar
gila!” teriak parau terdengar jauh di depan persimpangan jalan. Terlihat
Rama berlari bertelanjang kaki. Tersengal-sengal, napasnya memburu.
***
2 Oktober 1965, 14.45 WIT
Penjemputan paksa serta pembunuhan 6
Jenderal besar Republik Indonesia oleh antek-antek Komunis membawa ketegangan
luar biasa di Ibu Kota. Atas mandat Presiden Soekarno, saat ini Jenderal
Suharto mengambil alih kepemimpinan TNI – AD dan berhasil memukul mundur para
Komunis. Pada pukul 12.00 siang ini di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo,
Halim Perdana Kusuma berhasil diambil alih satuan RPKAD. Mari rakyat kita
bersama melanjutkan perjuangan Jenderal-Jenderal besar kita! Cari dan basmi
semua antek-antek Komunis!
A Lin menutup kedua telinganya dan
membenamkan wajahnya pada kedua lututnya. Aku berusaha menenangkan diri. Suara
berapi-api yang samar kudengar dari radio begitu membuatku mual. Beragam
pemberitaan di radio dan koran-koran lebih seperti seruan propaganda pembunuhan.
Aku tidak tahu apa itu Komunis, apa itu RPKAD. Yang pasti setiap penjuru desa
mulai koyak oleh kekerasan. Bau amis dan busuk menyergap hingga ke balik
dinding bambu tipis tempatku bersembunyi selama satu hari ini.
Tiba-tiba dinding bambu yang menjadi pelindung
kami tersingkap. Wajah lembut seorang wanita Jawa yang sarat dengan
kekhawatiran tersenyum di depan kami.
“Ayo kalian berdua keluar dulu. Makan,
wis siang.”, kata Simbok.
Perlahan kami berdua keluar menuju ruang
tengah yang hanya berisikan 2 kursi kayu dan meja dengan radio di atasnya. Rama
keluar dari balik dapur sembari membawa 2 piring nasi dan gelas. Berempat kami
duduk di lantai semen dingin, masih diliputi ketegangan yang sama.
“Kalian orang baik, kenapa nasib
kalian seperti ini”, Simbok memecah keheningan.
“Mama dan Papa mu Sen, Lin, sing
mbayar uang sekolah Rama dari tahun lalu. Bapak’e mana mikirin. Maunya anak’e
kerja mbantu di sawah. Tapi Simbok pengen cah bagus ku pinter. Jadi orang sing
sukses. Tapi duit buat makan aja susah. Sing Mama Mu Sen, Lin tiap pagi ngasi
nasi uduk buat Rama makan.”, Simbok tidak dapat menahan haru.
“Aku tau kalian ga mungkin anggota
Komunis itu. Ga mungkin Mama Papa mu ikutan kelompok gituan. Tapi banyak orang
Cina juga ditembakin, padahal salah apa nduk mereka. Mereka cuma nerima
bantuan, mereka dibodoh-bodohi.”, tangis Simbok semakin menjadi.
“Simbok kira kemarin kalian uda kabur,
lari. Tapi kata Rama kalian pasti masih ke sekolah. Mama Papa kalian ga pernah
naru curiga sama orang, heran aku. Untung cah bagus ku nyusul kalian.”
Aku dan A Lin terdiam. Kami mengusir
pikiran buruk yang mungkin terjadi pada Papa dan Mama. Aku ingin sekali kembali
ke rumah. Namun kata Simbok jalan sudah begitu berbahaya. Lebih baik kami
bersembunyi disini.
“Disini tetap saja berbahaya. Bapak
pasti lebih memihak para tentara. Kalian punya keluarga di luar daerah ini kan?”,
kata Rama.
***
3 Oktober 1965, 02.15 WIT
“TNI! Buka pintunya!”, terdengar
suara berat disertai gesekan puluhan sepatu dan tanah di depan pintu rumah
Rama.
Aku dan A Lin terbangun. Menahan napas
dalam tempat persembunyian kecil kami. Rasa takut menyergap ke seluruh tubuh
dan kami bergandengan tangan menatap satu sama lain. Terlambat sudah rencana
kami untuk kabur ke Jogjakarta esok pagi. Jika kami harus mati hari ini,
biarlah roh Leluhur sudi membiarkan kami mati dengan cepat.
“Ga ada siapa-siapa disini. Cuma
Simbok, Bapak, sama anak Simbok satu yang tinggal disini.”, terdengar suara
Simbok di depan pintu masuk.
Mereka tidak menggubris. Terlihat mereka
dengan kasar mendorong Simbok mundur dan 3 tentara berperawakan tinggi besar
dengan pakaian penuh dengan noda darah masuk ke dalam rumah. Tatapan mereka
nanar, dipenuhi kebencian pada oknum-oknum yang telah mengkhianati bangsa.
Aku dan A Lin menutup mata. Ketakutan ku
semakin menjadi-jadi. Suara langkah dan meja kursi yang diobrak-abrikan bagai
silet yang mengiris kedua telingaku. Mereka pasti menemukan kami. Hanya mujizat
yang bisa menyelamatkan kami dari ini.
Tiba-tiba dinding bambu yang menutupi
kami ditarik dan ditendang paksa. Sekejap saja dinding itu penyok di segala
sisi. Sontak pekikan kami terdengar dan 3 tentara yang berada hanya beberapa
sentimeter dari kami seperti menemukan harta karun. Seringai serta senyum
mereka serasa menusuk hingga tulang.
Mereka menatap kami dengan tatapan jijik.
"Dasar tikus kecil!" teriak mereka. Salah seorang dari mereka
menjambak rambut ku dan A Lin, tak menghiraukan tangis dan seruan minta ampun
yang dengan putus asa kami teriakan. Mereka membawa kami ke depan rumah dan
memaksa kami duduk berlutut dengan kedua tangan di atas kepala kami. Aku
menutup mata, tak berani melihat pemandangan yang menyerupai neraka di
sekelilingku. Hanya indra pendengaranku yang menjadi saksi; suara pintu-pintu
yang didobrak, tangis dan teriakan memohon, dentuman benda tumpul, deru senapan
mesin, dan makian tak beradab.
“A Sen? A Lin?”, suara ragu
dan iba terdengar dari seorang tentara dengan jejeran piagam di dadanya. Kami
mendongakan wajah.
“Paman Pierre?!”, kami menangis
sejadi-jadinya dan menghambur ke pelukan Paman Pierre yang masih menggunakan
seragam loreng dan topi baret hijaunya. Wajah kelegaan nampak jelas di
wajahnya. Ia memeluk dan selama beberapa detik tak henti meminta maaf pada
kami.
“Mereka keponakanku. Nama mereka saya
berani jamin tidak ada dalam daftar anggota Komunis di desa ini.”
“Siap Jendral, tapi mereka..”, seorang tentara yang tadi menjambak rambutku tampak tidak terima.
“Cina? Lalu kenapa? Mereka anak dari
adik istri saya. Kau jangan macam-macam. Sekarang bawa mereka ke mobil saya.”
***
02.45 WIT
Kami duduk di kursi depan bersama Paman
Pierre. Dibalik tubuhnya yang besar dan berkulit hitam legam, paman Pierre
merupakan orang terbaik yang pernah kami kenal.
“Ketika kudeta ini berlangsung, paman
langsung terpikirkan kamu dan keluargamu. Kalian tinggal di daerah yang paling
terkena dampak langsung pemberontakan keparat-keparat ini. Paman langsung
menjadikan wilayah ini sebagai wilayah tanggung jawab Paman demi memastikan
kalian selamat. Kalian tahu, apa yang para tentara lakukan tak kalah
mengerikan. Mereka tanpa ampun juga membunuh siapa saja yang mereka curigai
terkait dengan aktivitas Komunis.”
“Bagaimana Mama dan Papa?”,
aku dipenuhi rasa was-was.
“Kita akan segera bertemu mereka di
barak. Tenang, mereka baik-baik saja.”, kata Paman menepuk kepalaku.
***
Jakarta
30 September 1980, 15.00 WIB
Kantor begitu bising pada jam-jam seperti
ini. Suara mesin ketik saling sahut menyahut membuat kepalaku terkadang pening
tak karuan. Aku merentangkan kedua tanganku, merilekskan diri sejenak. Tatapan
ku tertuju pada bingkai foto keluarga di depan mesin ketikku; Mama, Papa, Paman
Pierre, Tante Mei, aku, dan Josephine.
Tidak terasa 15 tahun sudah semenjak
peristiwa kelam GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) 1965 yang mengubah wajah
Indonesia serta menjadi titik balik kehidupan keluargaku. Potret hitam yang
sampai detik ini masih menimbulkan pertanyaan ganjil dan menaruh luka yang
dalam pada sejarah bangsa ini. Hilangnya nyawa ratusan ribu orang,
keluarga-keluarga yang tercerai berai, dan daftar hitam nama-nama mereka yang
tertahan sebagai tahan politik tanpa pernah diadili.
Keluargaku membuka lembaran baru selepas
bertemu dengan Mama dan Papa di barak TNI pada 1965 silam. Selama 2 tahun
lamanya kami menetap di kediaman Paman Pierre hingga akhirnya hijrah ke Jakarta
pada pertengahan tahun 1967. Hidup tidak terasa lebih mudah. Kami lepas dari
peristiwa Gestapu namun masih menghadapi segelintir penolakan di tanah
kelahiran sendiri. Pada tahun itu tepatnya 7 Juni 1967 Presiden Soeharto
mengeluarkan surat perintah yang isinya mewajibkan kami mengganti nama kami ke
dalam Bahasa Indonesia, pelarangan kepemilikan tanah di pedesaan, pelarangan sekolah
Tionghoa, pengetatan seleksi masuk universitas, hingga pembatasan kegiatan
keagamaan. Namaku tak lagi Oey A Sen, melainkan Joshua Limbudi dan adiku tak
lagi Oey A Lin melainkan Josephine Limbudi. Rama? Tentu aku masih bersahabat
dengan teman masa kecilku itu. Tiap akhir tahun kami selalu menyempatkan diri
bertemu. Saat ini Ia sudah menikah dan menetap di Bali bersama istri dan
anaknya.
Pernah satu kali Rama berujar, mengapa
aku dan keluargaku tidak pindah ke luar negeri? Bahkan pemerintah saja menekan
kebebasan-kebebasan dasar kami, ujarnya.
Sesungguhnya aku tak ambil pusing. Biar orang berlaku apa, ini tetap tanah kelahiran kami. Aku jatuh cinta pada hamparan sawah di bawah kaki gunung Arjuno, suara tawa anak-anak bermain layangan di kala langit menampakkan sinar kemerahan, suara gemericik air sungai tempat ku belajar mengapung dengan Rama, hingga senyum keramahan para pedagang keliling. Dari tanahnya segala yang kami makan, minum, dan pakai berasal. Kaki langitnya pun selama puluhan tahun menjadi saksi bisu segala perjuangan dan tetes keringat.
Sesungguhnya aku tak ambil pusing. Biar orang berlaku apa, ini tetap tanah kelahiran kami. Aku jatuh cinta pada hamparan sawah di bawah kaki gunung Arjuno, suara tawa anak-anak bermain layangan di kala langit menampakkan sinar kemerahan, suara gemericik air sungai tempat ku belajar mengapung dengan Rama, hingga senyum keramahan para pedagang keliling. Dari tanahnya segala yang kami makan, minum, dan pakai berasal. Kaki langitnya pun selama puluhan tahun menjadi saksi bisu segala perjuangan dan tetes keringat.
Namun jika boleh jujur, hingga detik ini
aku tak hentinya memimpikan semboyan Bhineka Tunggal Ika sungguh diwujudkan di
negri ini. Mungkinkah aku melihat seorang bermata sipit menjadi pejabat tinggi
negara? Atau membawa baki bendera pusaka di Istana Presiden pada upacara
kemerdekaan Indonesia? Kami tak kalah Indonesia-nya dengan siapapun di tanah
ini. Tak ada yang tidak mungkin, bukan. Mungkin di tahun 2000. Atau 2015. Atau
2030. Aku tak peduli kalau kau bilang aku seorang pemimpi, aku masih menanti.
Keterangan:
*Ce It: Waktu pemujaan dan
penghormatan masyarakat Tionghoa terhadap Roh Leluhur yang dilakukan setiap
bulan pada tanggal 1. Pemujaan dan penghormatan ini dilakukan dengan
menyediakan makanan, buah-buahan, dan uang kertas.
*Jinqian: Pembakaran uang kertas
merupakan tradisi masyarakat Tionghoa di hari Ce It. Mereka percaya bahwa para
Leluhur memerlukan uang di dunia akhirat untuk dapat memiliki kehidupan yang
lebih baik. Uang tersebut dikirim oleh sanak saudara mereka yang masih ada di
dunia.
*Sansheng: Menu yang terdiri dari
ayam, ikan dan sapi untuk dipersembahkan kepada leluhur.
*Akong dan Ama: Kakek dan Nenek