"Tik.. Tikk. Shhhhh."
Samar suara pemantik api menyulut rokok keretek
memecah senandung apik jangkrik malam. Sejenak rambut kecoklatannya yang turun
hingga pelipis, batang hidungnya yang bangir, dan sorot matanya yang sendu
tersorot cahaya jingga api.
Bisik angin malam menyapa wajahnya sembari
dihirupnya rokok itu dalam-dalam. Dengan mata terpejam dan pikiran yang tak
ayal kemana, dihembuskannya napasnya perlahan, membuat kepulan asap putih
dengan aromanya yang khas menari membentuk siluet elok tak
berparas. Aksara perlahan mengangkat kakinya dari dingin lantai
marmer dan dan merebahkan punggungnya pada tembok balkon putih pucat di
belakangnya. Ditengadahkannya kepalanya ke langit, menghitung titik kerlip
cahaya nun jauh yang terhitung jumlahnya. "Tak berbelas kasihan kah kau
menghibur si nelangsa ini?", ringisnya.
Aksara membenamkan lamunannya pada satu hari di
bulan Desember. Hari ketika senyum dan tawa seorang anak manusia mampu menjadi
penopang segala kelam. Hari ketika cinta dan janji begitu lugas diucap karena
masa kini yang sepenuhnya berkuasa membuatnya tak lebih kuat dari bocah ingusan
belajar berjalan. Dan hari ketika kata "maaf" tak lebih menyakitkan
dari duri dalam daging yang diceritakan seorang Rasul itu.
Sesaat Aksara terlena dengan gemericik gerimis
yang mulai turun dan menebarkan bau tanah basah di penghujung hari.
Dibenamkannya puntung rokok pada asbak kaca penuh sesak di sebelah kanannya,
mengambil sebatang rokok dari kardus ketiganya hari itu, dan memantik apinya.
Berharap malam menyapu habis rindunya dan tak lagi menyisakan tanya.
***
Annika meraih cangkir tehnya,
mendekapnya dengan kedua jemari tangannya, dan menikmati kehangatan menjalari
setiap jengkal buku-buku jarinya. Perlahan ia menghirup tehnya sembari
termenung menatap langit malam lewat jendela yang berseberangan dengan meja
berserakan kertas-kertas sketsa. Bagi Annika, langit malam bagaikan sebuah
lukisan Sang Pencipta yang terselip cinta. Begitu damai dengan kerlip gemintang
ditemani cahaya cantik bulan. Ia
menghela napas panjang. “Namun sejak kapan kau menitip sejumput kenangan ini
lewat malam?”, pikirnya lirih.
Ia teringat derai tawa yang mengalun
dari bibirnya sepanjang hari, juga sorot mata bersahabat untuk mereka yang di
dekatnya. Tapi ketika fajar menyembunyikan rupa dibalik temaram langit malam,
ia tak berdaya. Tak berdaya menyembunyikan kekalutan batinnya yang bertanya
kabar pria yang secara penuh mengisi ruang hatinya. Sedang apa dia sekarang?
Masihkah ia menghabiskan malam di sudut balkon kamarnya? Sesakkah hatinya oleh
rindu yang membuncah ini?
Annika melirik jam yang terpampang di
halaman depan telepon genggamnya. Pukul 21.14. Ia tak tahan lagi. Diambilnya
telepon genggamnya. Ingin rasanya menekan tombol angka dan mendengar suara
berat dari ujung telepon. Tetapi diurungkannya niatnya. Ia membuka kotak pesan
dan menulis sebaris kata, “Aku kangen…” Tidak, tidak. Dihapusnya lagi sebaris
kata itu. Rasanya terlalu naif tanpa asal muasal mengumbar kata rindu semurah
itu. “Hai, apa kabar?”, rasanya lebih masuk akal. Ia tersenyum menatap layar
kacanya.
Hatinya berdegup kencang dan tangannya
basah oleh rasa gugup yang menghampirinya. Tinggal menekan sebuah tombol kirim
sebenarnya. Namun entah untuk yang keberapa kali, sekelebat memori itu kembali
menghadang.
“Rasanya ini bukan waktu yang tepat.
Aku bahkan berpikir ulang tentang angan-angan kita yang dahulu. Menikah bukan
perkara sepele, Aksara. Karirku sedang melejit saat ini. Bulan depan bahkan aku
harus ke London kemudian langsung ke Bei Jing beberapa minggu untuk fitting gaun
pesta klienku. Lagipula hey, kita masih sama-sama muda sayang, tak usahlah
terlalu muluk bicarakan menikah, menikah, dan menikah.”
“Berapa kali harus kukatakan, aku
mengerti semua kesibukanmu. Hanya saja aku juga punya batas Annika. Aku lelah
menunggu kepastian kapan pernikahan kita segera dilaksanakan. Kita sudah lama
bertunangan dan akan lebih baik jika kita mengikat janji pernikahan kita selagi
kita juga tetap berfokus pada karir kita masing-masing. Aku janji pernikahan
kita ga akan menghambat ini semua. Kamu dengerin aku, ya?”
Aku sesaat terdiam.
“Maaf Aksara.. Aku ga bisa korbanin
karir aku.”
Matanya tak lagi menitikkan air mata
mengingat hari itu. Perlu ratusan malam untuk mengakui bahwa ia –sang pembuat
keputusan- lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas berakhirnya kisah yang
terbina semenjak mereka masih duduk di bangku kuliah dulu. Ia menyesali tiap
kata yang meluncur tajam dari lidah terkutuknya; menyia-nyiakan cahaya hidupnya
untuk cahaya sesaat yang membutakan pilihan hatinya.
“Maka biarlah saat ini aku yang
menunggu. Menunggu ia merindukanku.”, pikirnya. Karena kapan saja saat Aksara
ingin kembali, hatinya terentang untuk memberikan cinta baru yang dengan
sungguh akan ia jaga.
Teh di hadapannya sudah mendingin dan
telepon genggamnya telah ia lempar sembarang ke tumpukan kertas sketsa di
depannya. Annika kembali memandang langit malam. Ia selalu menyukai
langit malam yang seolah menyampaikan, “Apa yang terjadi dan kau rasakan hari
ini, cukup untuk hari ini. Beristirahatlah. Pejamkan matamu. Bersamaan dengan
terbitnya sang fajar di ufuk timur, esok kan lebih baik.”
--------------------------------------------------------------------------------
"His cigarettes are
running one after another, trying to forget her. While her tea is getting cold
as she waits for him to miss her"
-------------------------------------------------------
* Duri dalam daging: Diucapkan oleh
seorang Rasul dalam sebuah ayat di Kitab Suci. Frase ini merujuk pada
penderitaan jasmani yang berpengaruh pada dia secara pribadi dan fisik. Ini
barangkali sesuatu yang membuat dia sangat kesakitan, dan juga sedikit rasa
malu, karena hal-hal ini "memukul" dia.
Chrisella
6 Maret 2015