#JAKARTAREPOSEPROJECT
Usianya
genap 46 tahun di tahun ini, tetapi semangat dan antusiasmenya tidak kalah
dibandingkan pemuda-pemudi berusia
20-an. Ia banyak tertawa, melucu, dan begitu bersahabat dengan orang-orang di
sekitarnya. Beliau bernama lengkap Mudijanto Korahi dan saat ini bekerja
sebagai finance and accounting manager di PT Indofood CBP Sukses Makmur TBK.
Selama 21 tahun bekerja disana Pak Mudi bertanggung jawab mengelola keuangan
perusahaan, menerbitkan laporan keuangan, dan menjaga asset perusahaan.
Di luar
aktivitasnya yang sibuk senagai seorang manager, Pak Mudi banyak menghabiskan
waktu akhir pekannya pergi ke mall untuk sekedar ngobrol dan bersantai dengan
teman atau keluarga. Tetapi jika long weekend
atau liburan panjang ia pasti pergi ke luar kota. “Setahun rutin minimal 3
kali keluar kota yang agak jauhan. Pas liburan sekolah 1 kali, akhir tahun 1
kali, 1 kali lagi tiba-tiba. Ini harus minimal tiga kali”, katanya. Ini belum
termasuk jalan-jalannya ke Bandung untuk mengunjungi anaknya yang saat ini
kuliah semester 5 jurusan arsitektur di Universitas Parahyangan. Ke Bandung ia
bahkan bisa sebulan 2 kali untuk mengunjungi anaknya sekaligus berbelanja dan
berwisata kuliner.
Hobi
jalan-jalan dari ayah dua anak ini berawal dari kedekatannya dengan teman-teman
gereja yang memiliki hobi sama. Di tahun 2000, obrolan ringan mereka membuahkan
rencana konvoi dengan mobil bersama 6 keluarga menuju Telaga Sarangan, Jawa
Timur. “Perjalanannya luar biasa sekali kalo saya bilang. Kita ga pernah konvoi
sebelumnya. Itu mobil kejar-kejaran ga beraturan karena takut ketinggalan.
Tegang tapi enjoy aja. Uda di lokasi kumpul semua uda seru, lupa sama
ketegangan.” Di Sarangan pun ia mendapat pengalaman yang tidak terlupakan. “Cerita
yang slalu saya putar terus menerus adalah perjalanan ke sarangan. Itu teringat
dan terngiang semua. Saking nanjaknya, sampe saya gabisa liat jalan. Turun saya
bingung, yang saya liat cuma aspal saking tajamnya.”, katanya tertawa. Ia
sebenarnya sudah diperingatkan oleh pom bensin terakhir untuk tidak melewati
daerah tersebut. Tetapi alternative jalan lain memakan waktu hingga 1 jam
sedangkan jika melewati daerah tersebut waktu yang dibutuhkan hanya 25 menit. “Kalo
ngobrol ketemu sama yang waktu itu jalan bareng serunya minta ampun”, katanya
tertawa. Pengalamannya ini tidak membuatnya kapok. Pak Mudi justru mengusahakan
untuk tetap menggunakan mobil jika masih di area Pulau Jawa. Menurutnya kenikmatan
wisata tidak hanya bisa didapatkan di tujuan destinasi wisata tetapi juga dalam
perjalanan.
Telaga Sarangan, Juli 2000
Dalam
sekali wisata konvoi yang berlangsung sekitar 5-7 hari, Pak Mudi lah yang selalu
memastikan tidak ada halangan yang terjadi untuk setiap keluarga saat tiba di
lokasi wisata. Dari jauh hari ia sudah mem-booking
hotel baik bayar full atau dp. Untuk
menjadikan wisatanya dan teman-temannya menyenangkan ia juga terlebih dahulu
mencari tempat-tempat wisata terkenal yang ada di daerah yang mereka tuju.
Biasanya melalui internet (google khususnya) ia biasa mencari biro perjalanan
yang menawarkan paket wisata dan mengikuti tempat-tempat yang sudah ada di
paket wisata. Baginya berwisata sendiri lebih menyenangkan daripada mengikuti
tur. “Emang tur lebih enak tapi kadang kita kaya bukan bos. Jam sekian harus kumpul.
Ya kita santai aja lah. Kalo mau jam 8 jalan ya jalan, kalo lagi capek mau setengah
9 aja, yauda kita santai dan fleksibel aja jdinya. Lbih enak kan.”, kata Pak
Mudianto.
Ujung Genteng, 2009
Pengalaman
yang tidak mengenakan pernah terjadi saat Pak Mudjianto berwisata ke sebuah villa
yang bernama Villa Copong. Dari rekomendasi teman, temannya menyarankan untuk
menginap disana sehingga ia tidak lagi mengeceknya di internet. Villa tersebut terbuat dari kayu dan berada di
pinggir danau, persis Kampung Sampireun. “Cuma kalo dia 1, sampireun 10.
Hahaha. Soalnya dia danaunya coklat, sampireun hijau.”, kata Pak Mudi tertawa.
Saat malam lampunya sangat remang dan bahkan sempat mati lampu. Belum lagi
serangga dalam jumlah banyak masuk ke villa. Tentu Pak Mudi merasa sangat tidak
enak dengan keluarga-keluarga yang ikut konvoi dengannya. Dari peristiwa itu,
Pak Mudi tidak pernah lagi hanya mengandalkan rekomendasi dan selalu mencari
info destinasi wisata melalui internet terlebih dahulu.
Walaupun
Pak Mudijanto hobi berkonvoi beramai-ramai, Semarang dan Bali menjadi tempat
favoritnya berwisata pribadi bersama keluarganya. Semarang menjadi destinasi
wisatanya bersama keluarga besar sedangkan Bali menjadi wisata pribadi bersama
istri dan kedua anaknya. Dari tiga kali kunjungannya ke Bali, ia tidak pernah
mengunjungi tempat yang sama dan selalu mencari tempat-tempat lain yang belum
pernah ia kunjungi kecuali 1 tempat yakni Pure Ulendanu di Danau Bratan. “Danaunya
tuh dingin terus saya selalu naik kapal keliling di danau itu. Enak deh, nyaman
sekali. Sejahtera rasanya”, tukasnya. Baginya, Bali merupakan tempat yang tidak
akan pernah membuatnya bosan dengan keindahan pantai, infrastruktur perkotaan,
dan budayanya yang masih begitu memegang tradisi.
Dalam
memilih suatu destinasi wisata, ada 3 faktor yang diutamakan Pak Mudjianto
yakni pemandangan indah, kenyamanan hotel, dan kuliner. Pemandangan terbaik
yang pernah ia dapatkan adalah saat berwisata ke Green Canyon, Pangandaran
dimana Green Canyon memadukan keindahan danau dan laut; danau berwarna hijau
dengan batu karang besar menjulang di kiri kanannya. Sedangkan untuk hotel
ternyaman ia dapatkan di Patma Hotel, Cimbeluit. Konsepnya unik, dimana jika
tamu menekan lift ke lantai 7, lift bukan naik ke lantai 7 melainkan turun ke
lantai 7. Hotel ini begitu asri, berdekatan dengan hutan dan suara jangkrik
yang begitu nyaring dan pelayanan yang sangat ramah dari dari para pekerja
hotel sehingga harga Rp 3 juta per malam yang ditetapkan hotel ini dirasa tidak
mengherankan untuk Pak Mudi. Untuk kuliner, Pak Mudi tidak pernah
memprioritaskan hal ini tetapi setiap kali berwisata ke suatu daerah, Pak Mudi
pasti mencari makanan khas daerah tersebut untuk dicoba dan dijadikan
oleh-oleh.
Dalam
berwisata Pak Mudi tidak begitu mempermasalahkan budget. Untuk kenyamanan keluarga, ia selalu memesan hotel yang
minimal memiliki harga Rp 600 ribu per malam.
“Karena kalo tahan-tahan kasian keluarga.”, tukasnya. Dalam sekali
perjalanan, ia bisa menghabiskan kira-kira Rp 12 juta yang sudah termasuk
semuanya. “Makan biasanya jor-joran, belanja oleh-oleh juga banyak. Kaya kemaren
di garut, belanja coklat aja bisa Rp 600 ribu, gila ga coklat doang loh.”,
tukasnya tertawa.
Pak
Mudjianto sangat menikmati wisata lokal yang begitu kaya dengan keindahan alam
dan kulinernya. Tetapi sayangnya berbagai tempat indah di Indonesia masih
kurang memadai dalam hal trnsportasi, terutama di Indonesia bagian timur. Transportasi
ke daerah dengan potensi wisata kluar biasa kurang diperhatikan oleh
pemerintah. Misalnya saja jika ke Wakatobi, Pak Mudi mengatakan wisatawan harus
usaha sendiri untuk mencapai lokasi. Kemacetan juga menjadi hal yang sangat
disayangkan oleh Pak Mudi. “Kita pernah berangkat jam 3 pagi untuk hindarin
macet, itu kan nyiksa. Jalur padat wisata ga diperlebar, dari 10 tahun lalu masih
sama aja. Wisatawan makin banyak, mobil makin banyak, tapi badan jalan
ukurannya tetep segitu aja. Ya macet.”
Besar
harapan Pak Mudi pemerintah untuk pemerintah memperbaiki sarana jalan dan
transportasi menuju tempat-tempat wisata. Menurutnya keberhasilan tempat wisata
sangat bergantung dari sarana transportasi yang baik sehingga daerah wisata
akan hidup dengan sendirinya. “Kalo
untuk lebaran, nginep di jalanan pun di bela-belain. Tapi kalo mau wisata, mau
seneng-seneng, kita cuti 2 hari tapi perjalanan uda makan waktu 1 hari dapet
apa disana? Kan bikin orang males juga.”, kata Pak Mudi.
“Saya
mencari kenikmatan di perjalanan dan hal-hal baru. Pikiran yang stress kerja
bisa plong. Daripada stress lama-lama ntar gila”, kata Pak Mudi tertawa. Lalu
apa 3 kata yang merangkum perjalanan wisatanya ini? Dengan tersenyum ia
berkata, “Saya butuh refreshing.”
No comments:
Post a Comment